Membela Sahabat Nabi, Abu Musa al-Asy’ari

Di
antara cobaan bagi umat Islam akhir zaman adalah dikaburkannya
sosok-sosok teladan mereka. Figur yang mestinya mereka teladani dirusak image-nya.
Wibawa mereka dinista. Sehingga umat Islam bingung, siapa yang harus
mereka teladani. Umat Islam tidak lagi percaya kepada tokoh-tokoh agama
yang selayaknya mereka kagumi. Di antara orang-orang yang dirusak
figurnya adalah sahabat Rasulullah ﷺ yang bernama Abu Musa al-Asy’ari radhiallahu ‘anhu. Ia adalah salah seorang tokoh dan ulama di kalangan para sahabat.
Ketika terjadi perselisihan antara Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah radhiallahu ‘anhuma,
Ali mengangkat Abu Musa sebagai juru rundingnya, karena ia seorang yang
netral. Tidak memihak Ali dan tidak pula Muawiyah. Sedangkan Muawiyah
mengangkat Amr bin al-Ash. Hasil perundingan seolah-olah pihak Muawiyah
yang diuntungkan. Kemudian orang-orang yang di hati terdapat penyakit
menuduh Amr sebagai seorang yang licik. Dan Abu Musa sebagai seorang
yang lemah dan pendek akalnya, wa ‘iyadzubillah.
Pada kesempatan kali ini, kita akan mengenal bagaimana sosok Abu Musa al-Asy’ari radhiallahu ‘anhu
di mata Rasulullah ﷺ dan para sahabatnya. Agar kita dapat menilai sosok
sahabat yang mulia ini dengan adil. Tanpa pengaruh pengikut hawa nafsu.
Mengenal Abu Musa
Rasulullah ﷺ memujinya,
يَا أَبَا مُوسَى لَقَدْ أُعْطِيتَ مِزْمَارًا مِنْ مَزَامِيرِ آلِ دَاوُدَ
“Wahai Abu Musa, sungguh engkau telah
dikaruniai suatu suara yang indah dari keluarga Daud.” (HR. At Tirmidzi
dalam Sunannya V/693, menurut At Tirmidzi hadits ini hasan shahih).
Namanya adalah Abdullah bin Qays. Akan tetapi
ia lebih dikenal dengan kun-yahnya, Abu Musa al-Asy’ari. Ibunya adalah
seorang wanita Mekah yang bernama Zhabiyyah binti Wahb. Ibunya memeluk
Islam dan wafat di Madinah.
Untuk ukuran orang kaukasia, Abu Musa adalah seorang laki-laki Arab
yang pendek. Badannya kurus dan janggutnya tidak lebat. Ia meninggalkan
kampung halamannya, Yaman, karena mendengar tentang seorang Rasul yang
mendakwahkan tauhid di Kota Mekah. Setelah pindah ke kota suci itu, Abu
Musa radhiallahu ‘anhu duduk di majelis Rasulullah ﷺ. Ia
mendengar kalam petunjuk dan ilmu keimanan. Beberapa waktu tinggal di
Mekah, kemudian ia kembali ke Yaman untuk mendakwahi masyarakat kampung
halamannya.Berlayar Menuju Habasyah
Di Yaman, Abu Musa al-Asy’ari berhasil
mendakwahi beberapa orang dari kaumnya. Abu Musa al-Asy’ari bercerita,
“Saat di Yaman, kami mendengar Rasulullah ﷺ keluar (dari Mekah). Kami
pun berhijrah untuk bertemu dengannya. Aku, dua orang kakakku, Abu
Burdah dan Abu Ruhm, beserta 50-an orang dari kaumku menaiki perahu.
Kami berangkat menuju Habasyah. Di sana, kami berjumpa dengan Ja’far bin
Abu Thalib dan sahabat-sahabatnya, radhiallahu ‘anhum. Ja’far
mengatakan, ‘Sesungguhnya Rasulullah mengutus dan memerintah kami untuk
tinggal (di Habasyah). Tinggallah kalian bersama kami’. Kami pun tinggal
di sana bersamanya.” (Riwayat Imam Muslim dalam Kitab Fadha-il ash-Shahabah bab Fadha-il Ja’far bin Abi Thalib wa Asma binti Umais wa Ahlu as-Safinatuhum, No. 2503).
Tiba di MadinahRasulullah ﷺ bersabda kepada para sahabatnya,
يُقَدِّمُ عَلَيْكُمْ غَدًا قَوْمٌ هُمْ أَرَقُّ قُلُوْبًا لِلْإِسْلَامِ مِنْكُمْ
“Besok, akan datang kepada kalian kaum yang hatinya lebih lembut dari kalian dalam menerima Islam.” (HR. Ahmad 3369).
Keesokan harinya datanglah kabilah al-Asy’ari.
Di antara mereka ada Abu Musa. Saat sekelompok orang dari kabilah ini
tengah dekat Kota Madinah, mereka bersyair:
غَدًا نَلْقَى الأَحِبَّـةَ، مُحَمَّـدًا وَحِزْبَهُ
Esok kita bertemu dengan para kekasihMuhammad dan sahabat-sahabatnya
Setibanya di Madinah, mereka bersalam-salaman.
Ada yang mengatakan inilah pertama kalinya tradisi salam-salaman
dilakukan saat pertama berjumpa. Inilah budaya Arab, tradisinya kabilah
al-Asy’ari. Mereka terbiasa bersalaman saat pertama berjumpa.
Orang-orang Romawi yang mempengaruhi Eropa dan sebagian wilayah Asia
tidak melakukan hal ini. Sedangkan Persia, mereka bersujud ketika
bertemu rajanya. Tradisi salam-salaman ini pun dilanggengkan dalam
syariat Islam.
Kedatangan Kabilah al-Asy’ari berbarengan
dengan kedatangan Ja’far dan peritiwa penaklukkan benteng Khaibar. Nabi
menjamu makan mereka. Jamuan itu dikenal dengan Tha’matu al-Asy’ariyyin. Abu Musa mengatakan, “Kami bertemu Rasulullah bersamaan dengan penaklukkan Khaibar. Beliau memberi kami (ghanimah).
Hal itu tidak beliau lakukan kepada siapapun yang tidak turut
penaklukkan Khaibar kecuali orang-orang yang berlayar di kapal menuju
Madinah bersama Ja’far dan sahabatnya. Mereka mendapat bagian juga
seperti kami”. (Riwayat al-Bukhari dalam Kitab al-Maghazi Bab Ghazwatu
Khaibar, No: 3992).
Kedudukan Abu Musa al-Asy’ari
Melihat sambutan Rasulullah ﷺ terhadap Kabilah
al-Asy’ari, terutama tokoh mereka yakni Abu Musa, tahulah para sahabat
kedudukannya di kalangan kaum mukminin. Secara pribadi, Abu Musa sendiri
adalah seorang yang fakih, bijak, dan cerdas. Sehingga memang
selayaknya ia dihargai.
Di masa berikutnya, Abu Musa menjadi ulama di
kalangan para sahabat. Ia berfatwa dan memutuskan perkara. Rasulullah ﷺ
mengangkatnya sebagai pemimpin di sebagian wilayah Yaman, Zabid, dan
Adn. Umar bin al-Khattab radhiallahu ‘anhu menjadikannya pemimpin di Bashrah. Dan Utsman bin Affan radhiallahu ‘anhu mempercayakan wilayah Kufah padanya.
Rasa cinta dan kasih Rasulullah ﷺ kepada Abu Musa, beliau tunjukkan saat mendoakannya ampunan dan masuk ke dalam surga.
اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِعَبْدِ اللهِ بْنِ قَيْسٍ ذَنْبَهُ، وَأَدْخِلْهُ يَوْمَ القِيَامَةِ مَدْخَلًا كَرِيْمًا
“Ya Allah, ampunila dosa Abdullah bin Qays (Abu
Musa). Masukannlah ia pada hari kiamat di tempat yang terpuji.” (HR.
al-Bukhari dan Muslim).
Asy-Sya’bi mengatakan, “Hakimnya umat ini ada
empat orang: Amr (bin al-Ash), Ali (bin Abi Thalib), Abu Musa, dan Zaid
bin Tsabit.” (Tarikh Dimasyq No.31996). Maksudnya adalah
orang-orang yang bijaksana keputusannya. Jika memutuskan suatu perkara,
hasilnya bisa diterima, tepat, dan benar.
Asy-Sya’bi juga mengatakan, “Ahli fikih dari kalangan sahabat
Muhammad ﷺ ada enam orang: Umar, Ali, Abdullah bin Mas’ud, Zaid, Abu
Musa, dan Ubay bin Ka’ab.” (Tarikh Dimasyq No.31996).Hasan al-Bashri mengatakan, “Tidak ada seorang pengendara kuda yang datang ke Kota Bashrah, yang lebih baik dari Abu Musa al-Asy’ari.” (Siyar A’alam an-Nubala, Jilid II, Hal: 389).
Abu Musa dan Alquran
Abu Musa radhiallahu ‘anhu adalah seorang ahlul Quran. Ia menghafal, memahami, dan mengamalkannya. Jika ia membaca Alquran, suaranya begitu syahdu dan meresap ke jiwa. Seakan ruh di dalam badan beristirahat dengan tenang.
Suatu malam, Rasulullah ﷺ mendengar Abu Musa radhiallahu ‘anhu melantukan ayat suci Alquran. Beliau ﷺ takjub dengan keindahannya. Rasulullah ﷺ menggambarkan keindahan suara Abu Musa ketika membaca Alquran dengan sabdanya,
يَا أَبَا مُوسَى لَقَدْ أُوتِيتَ مِزْمَارًا مِنْ مَزَامِيرِ آلِ دَاوُدَ
“Wahai Abu Musa, sungguh engkau telah diberi salah satu seruling keluarga Daud.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Mungkin ada yang bertanya, Apa yang dimaksud
dengan seruling keluarga Daud? Apakah keluarga Daud memainkan alat musik
seruling? Dan suara seruling itu seperti suara Abu Musa?
Syaikh Muhammad bin Shaleh al-Utsaimin rahimahullah menjelaskan makna hadits ini. “Daud ‘alaihissalam
diberi wahyu oleh Allah berupa az-Zabur. Nabi Daud melagukan bacaannya.
Beliau memiliki suara yang indah sampai-sampai gunung-gunung dan
burung-burung bertasbih bersamanya. Mereka berbaris menikmati indahnya
bacaan beliau ketika membaca az-Zabur. Inilah makna sabda beliau.” (Fatawa Nur ala Darb, asy-Syarith Raqm: 341).
Anda bisa bayangkan! Gunung-gunung dan hewan
menikmati keindahan suara Nabi Daud ketika membaca az-Zabur. Kemudian
Nabi ﷺ menyebut bahwa Abu Musa mendapatkan sebagian dari keindahan suara
itu, masya Allah..
Apabila Umar bin al-Khattab bertemu dengan Abu Musa, maka ia meminta Abu Musa untuk melantunkan Alquran. Beliau berkata,
شَوِّقْنَا إِلَى رَبِّنَا يَا أَبَا مُوْسَى
“Buatlah kami rindu dengan Rabb kami wahai Abu Musa.” (Raudhatul Muhibbin wa Nuzhatu al-Musytaqin, Hal: 400).Inilah bacaan Alquran yang terbaik, yang membuat seseorang bertambah rindu, cinta, dan takut kepada Allah ﷻ.
Berilmu dan Beramal
Abu Musa radhiallahu ‘anhu adalah
figur teladan untuk orang berilmu yang hendak mengamalkan ilmunya. Ia
banyak berpuasa. Suatu ketika ia mengatakan, “Semoga dahaga di hari yang
terik ini menjadi Pintu Rayyan untuk kita di hari kiamat.” (Rajul Hawla ar-Rasul, Hal: 442).
Dan Abu Musa wafat dalam keadaan berpuasa di hari yang panas.Membela Abu Musa
Banyak yang merendahkan kemampuan kepemimpinan (leadership) Abu Musa karena peristiwa tahkim
di zaman Ali bin Abu Thalib. Para orientalis menemukan momen yang tepat
untuk memfitnah dan memojokkan sahabat-sahabat Nabi ﷺ. Lewat peristiwa
tersebut, dengan riwayat-riwayat palsu dan dusta, mereka berkata apapun
tentang Ali bin Abi Thalib, Muawiyah, Abdullah bin Abbas, Amr bin
al-Ash, dan Abu Musa al-Asy’ari. Sayangnya, ucapan mereka dikutip oleh
sebagian kaum muslimin. Para sahabat Nabi ﷺ difitnah memperebutkan dunia
(kekuasaan), padahal mereka telah talak tiga dengan kehidupan dunia.
Mungkin ada yang bertanya, bagaimana bisa
kisah-kisah yang diriwayatkan oleh ulama ahli sejarah, semisal
ath-Thabari, Ibnu al-Atsir, Ibnu Saad, dan Ibnul Jauzi, itu palsu?
Jawabnya adalah ath-Thabari, Ibnu al-Atsir, Ibnu Saad, dan Ibnul Jauzi
tidak mensyaratkan apa yang mereka riwayatkan adalah berita yang shahih.
Oleh karena itu, mereka meriwayatkan kejadian-kejadian sejarah bersama
dengan nama-nama periwayatnya. Tujuannya agar pembaca bisa menilai
kualitas berita tersebut berdasarkan nama-nama periwayat.
Muhammad Zahid al-Kautsary al-Hanafi rahimahullah membuat tolok ukur bagaimana menilai kualitas berita dari para sejarawan tersebut. Beliau mengatakan,
قِيْمَةُ مَا يَرْوِيْهِ ابْنُ جَرِيْرِ قِيْمَةُ سَنَدِهِ
“Kualitas berita yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir (ath-Thabari) adalah kualitas sanadnya.”
Artinya, jika sanadnya lemah, beritanya pun juga lemah.
Cukup bagi kita berita-berita shahih dan
masyhur tentang pengakuan kemampuan kepemimpinan Abu Musa al-Asy’ari
oleh Rasulullah ﷺ, Umar dan Utsman radhiallahu ‘anhuma.
Setelah Rasulullah ﷺ wafat, Abu Musa kembali ke
Madinah. Sebelumnya, ia diamanati Rasulullah ﷺ atas wilayah Yaman. Di
zaman Umar bin al-Khattab, Abu Musa diangkat menjadi gubernur Bashrah.
Penduduk Bashrah yang terkenal pembangkang pun tidak memberontak kepada
Abu Musa.
Kemudian Utsman bin Affan radhiallahu ‘anhu
menjadikannya gubernur Kufah. Al-Aswad bin Yazid mengatakan, “Aku tidak
pernah melihat dari kalangan sahabat Rasulullah yang lebih berilmu dari
Ali dan Abu Musa.” (Siyar A’alam an-Nubala, Jilid II, Hal: 388).
Setelah mengetahui ini, bagaimana mungkin kita menuduh seorang yang
ditunjuk oleh Rasulullah, Umar, dan Utsman sebagai seorang yang lemah?
Berkali-kali pemimpin yang luar biasa itu menunjuk Abu Musa sebagai
wakil mereka. Bahkan Umar memberinya tugas khusus sebagai hakim. Umar
mengakui keadilan dan kecerdasannya dalam memutuskan perkara.Wafatnya Sang Pembaca Alquran
Di masa tuanya, Abu Musa al-Asy’ari radhiallahu ‘anhu semakin giat beribadah. Sampai-sampai orang-orang menasihatinya agar kasihan terhadap dirinya sendiri. Diriwayatkan dari Shalih bin Musa ath-Thulhi, dari ayahnya, ia berkata, “Akhir usia sebelum wafat Abu Musa al-Asy’ari ia isi dengan bersungguh-sungguh beribadah. Orang-orang berkata padanya, ‘Sekiranya engkau menahan dan tidak memporsir dirimu’. Abu Musa menjawab, ‘Sesungguhnya kuda pacu, jika mendekati garis lintasan akhir, ia akan mengeluarkan segala kemampuannya. Dan yang tersisa dari umurku lebih sedikit dari itu’.” (Siyar A’alam an-Nubala, Jilid II, Hal: 393).
Beberapa saat menjelang ajalnya, Abu Musa senantiasa membaca doa:
اَللَّهُمَّ أَنْتَ السَّلَامُ، وَمِنْكَ السَّلَامُ
“Ya Allah, Engkaulah as-Salam dan dari-Mu keselamatan.”
Alangkah indah kalimat-kalimat akhir yang
diucapkan Abu Musa. Para ahli sejarah berbeda pendapat tentang tahun
wafatnya. Antara tahun 42 H hingga 52 H.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar