Minggu, 20 November 2016

cerpen cinta

Lolos moderasi pada: 20 November 2016
Pagi yang melelahkan. Rasanya aku males berangkat ke kantor. Tapi apa daya. Kerjaan lagi numpuk. Menunggu untuk segera dibereskan.
Sesampainya di kantor aku melihat beberapa memo menempel di layar monitorku
“Banyak banget sich! Nggak tau apa orang lagi capek!”, gerutuku sambil melepas satu persatu memo yang menempel.
Mataku melirik ke kalender meja di depanku. 12 Februari. Aku tersenyum. Segera kunyalakan komputer. Login my fb. Dan…
“Happy Birthday Sob… Mudah-mudahan gue bukan orang pertama yang ngucapin met ultah sama loe! Dan mudah-mudahan juga gue bukan yang terakhir… Hehehe… Kali ini gue nggak punya banyak doa buat loe! Cuma wish u all the best aja! Capcus…”
Pesanku singkat di dinding Sandy Febrianto. Sahabat kecilku. 4 bulan lagi dia akan menikah. Meski udah jarang ketemu lantaran statusku yang udah nikah lebih dulu dari pada dia, tapi dia tetaplah sahabat terbaikku. Karena cuma sama dia aku menceritakan semua masalah. Dan cuma dia yang bisa kasih solusi tanpa pernah aku bantah.
Mungkin kedengarannya aneh. Padahal aku sudah bersuami dan aku amat sangat mencintai suamiku. Tapi nggak bisa dipungkiri. Aku juga butuh teman berbagi. Meski sebenarnya suamiku akan dengan senang hati meluangkan waktunya untuk mendengar ceritaku. Tapi terkadang ada hal rahasia yang nggak mungkin aku ceritain sama dia.
Tiba-tiba hpku berdering. Sebuah nama yang sangat kukenal tertera di layarnya.
“Sandy? Tumben…”, aku mengangkatnya.
“Hallo Sobat… Selamat ulang tahun…”, seruku penuh semangat.
“Hai… Makasih! Lagi dimana loe?”, tanyanya dengan nada riang.
“Lagi di kantor. Kenapa?”
“Jalan yuk! Gue traktir deh!”
“Hah? Jalan? Tumben banget loe ngajakin gue jalan? Biasanya bales sms gue aja nggak pernah! Mimpi apa loe?”, tanyaku heran.
“Yah malah ceramah! Mau nggak?”, tanya Sandy mendesakku.
“Huh… Dasar! Kapan?”
“Ntar siang. Di Brown Cafe. Gimana?”
“Emm… Sebenernya sich siang ini gue ada meeting. Tapi karena loe yang ngajak, kenapa nggak?!”
“OK! Ntar siang kita ketemu di sana!”, kata Sandy.
Terdengar Sandy memutus sambungannya. Tiba-tiba aku merasa senang sekali. Entah kenapa rasa capek yang aku rasain sejak berangkat kerja tadi mendadak hilang.
Jam 1 lewat 10 menit. Aku terlambat tiba di Brown Cafe. Ini gara-gara Tim Penilai Aset yang bertanya ini-itu padaku. Aku celingukan mencari Sandy di sekeliling ruangan. Tapi sama sekali nggak ada sosok itu. Tiba-tiba ada yang menepuk bahuku dari belakang. Aku menoleh. Seorang lelaki bertubuh tegap dengan potongan rambut ala tentara berdiri tepat di depanku sambil membawa seikat bunga mawar berwarna merah.
“Lagi nyariin gue?”, katanya.
“Sialan! Gue kira loe udah pergi gara-gara gue telat dateng!”, kataku sambil membetulkan letak tali tasku.
“Hehehe… Gue malah ngiranya gue yang telat. Makanya gue mampir beliin ini buat loe”, Sandy menyerahkan bunga itu padaku.
“Buat gue?”, tanyaku meyakinkan.
Dia mengangguk sambil menoleh kanan kiri mencari meja yang kosong.
“Nggak salah? Kok mawar merah sich?”, tanyaku yang tak digubrisnya.
Aku berjalan mengikuti dia menuju meja di sudut ruangan. Tempatnya begitu romantis. Menghadap ke sebuah kolam dengan taman bunga di sekelilingnya. Juga ada air terjun kecil yang tampak mengalirkan airnya menuju kolam.
“Nah! Kita duduk di sini aja”, kata Sandy.
Aku mengikutinya. Aku duduk berhadapan dengannya.
“Oia, mau langsung pesen atau ngobrol dulu neh?”.
“Gue langsung pesen makan aja. Laper…”, jawabku sambil mengusap-usap perutku.
“Ya udah kita pesen dulu. Mas!”, Sandy memanggil pelayan cafe dan memesan beberapa snack dan main course. Nggak lupa dia mesenin minuman favoritku. Air putih dingin. Hh… Sepertinya dia sangat hafal dengan kebiasaanku. Serasa dia adalah aku dan aku adalah dia. Emang bener-bener sahabat sejati. Pikirku dalam hati.
“Gelang loe bagus!”, kata Sandy tiba-tiba.
“Oh, ini dari Rio. Oleh-oleh dari Jogja”, jawabku seraya memainkan gelang mutiara di tanganku.
“Ow… Oia, loe udah bilang suami loe kalo ketemuan sama gue?”
Aku menggeleng.
“Lho? Kok belum? Ntar dia marah lagi kalo loe nggak pamit sama dia”
“Dia tuh nggak ada bedanya sama loe! Sama-sama cuek! Mana pernah Si Aquarius cemburu sama pasangannya?”, celetukku sinis.
“Nggak semua lagi, Al… Gimanapun sifat cowok pastilah dia ngerasa jealous kalo pasangannya jalan sama cowok lain…”
“Emang loe juga cemburu kalo Chintya jalan sama cowok lain?”, tanyaku.
“Emm… Kadang-kadang…”
“Lho? Kok kadang-kadang sich? Loe cemburu juga nggak?”, tanyaku mendesak.
“Yah… Dulu awal-awal jalan gue sering takut kalo dia bakal berpaling dari gue. Tapi sekarang udah nggak lagi! Mungkin karena bentar lagi kami akan nikah kali ya… Jadi udah nggak kawatir lagi! Udah pasti dimiliki soalnya…”, jelas Sandy yang membuatku lega.
“Yah… Mungkin yang dipikirin Rio juga gitu. Sejak menikah dia nggak pernah tuh ngelarang-ngelarang gue ketemu temen-temen cowok gue. Padahal loe tau gimana gue kalo udah ketemu sama mereka. Suka lepas kontrol aja kalo becanda. Terutama sama loe! Tapi sejauh ini dia OK-OK aja! Eh, kok jadi curhat gini sih? Kita kesini kan mau ngerayain ultah loe. Kok jadi ngomongin rumah tangga gue? Hehehe…”
“Nggak papa… Nyantei aja lagi kayak di pantai!”
Begitulah. Aku selalu ngerasa bahagia tiap kali bertemu dengan Sandy. Begitupun juga dia. Seolah kami adalah dua sejoli. Sejak saat itu kami jadi sering ketemu. Terutama beberapa hari ini. Aku meminta dia untuk membantuku menyiapkan surprise party untuk ulang tahun suamiku.
Hingga suatu hari saat aku pulang dari kantor. Sebuah mobil sedan terparkir dirumah mertuaku. Aku masuk sambil bertanya-tanya siapa gerangan pemiliknya. Saat melintas di ruang tamu aku melihat Rio dan orangtuanya berkumpul di situ. Dan yang membuat aku bertanya-tanya ada Chintya, calon istri Sandy. Sedang apa dia disini? Dan ada perlu apa sehingga seluruh keluarga berkumpul.
“Wah… Ada apa ini? Tumben banget pada ngumpul?”, tanyaku dengan senyum mengembang.
“Sayang… Bisa kita bicara sebentar?”, tanya suamiku dengan nada yang nggak biasa.
Aku langsung bisa merasakan kalo sedang ada masalah di sini. Aku berjalan mengikuti Rio. Dia masuk ke kamar dan menutup pintunya setelah aku masuk.
“Ada apa?”, tanyaku penasaran.
“Sayang, maaf sebelumnya. Bukannya aku nggak percaya sama kamu. Tapi tolong jawab dengan jujur pertanyaanku. Apa kamu pergi dengan Sandy hari ini?”
Aku terkejut mendengar pertanyaan Rio. Darimana dia tau kalau aku baru saja pergi dengan Sandy.
“Alya… Tolong jawab!”, pinta suamiku sambil menggenggam tanganku erat.
“I, iya! Aku emang tadi pergi sama dia. Cuman aku nggak ngerti dech kenapa kamu…”
“Jadi bener kamu ada hubungan sama Sandy?”
“Hubungan? Hubungan apa maksud kamu?”
“Yah… Hubungan…”
“Kamu pikir aku selingkuh sama Sandy? Sayang, kamu udah nggak percaya lagi sama aku? Kamu ngeraguin kesetiaanku sama kamu?”, kataku yang mulai emosi.
“Bukan.. Bukan itu maksudku. Aku hanya ingin kamu bicara jujur. Apa kamu ada hubungan khusus sama Sandy?”
Aku bener-bener semakin emosi. Aku membuka pintu dan berjalan ke luar menemui Chintya. Aku tau, darinya aku bisa mendapat jawaban atas pertanyaan suamiku.
“Chintya! Tolong kamu bilang sama aku. Apa keperluan kamu disini?”, tanyaku dengan nada sinis.
“Alya! Tenang!”, kata Ibu mertuaku.
“Ayo jawab, Chin! Ada perlu apa kamu kesini?”, tanyaku semakin tinggi.
Tiba-tiba Chintya berlutut dan memeluk kakiku.
“Alya, tolong jauhi Sandy. Jangan dekati dia. Sebentar lagi kami akan menikah. Aku mohon…”, pinta Chintya sambil terisak.
“Chin, apa-apan sich? Ayo bangun! Jangan gini dong.. Lepasin!”, kataku sambil menarik-narik tangannya.
“Aku nggak akan bangun sampai kamu mau berjanji untuk mengembalikan Sandy sama aku”, kata Chintya yang membuatku semakin penasaran ada apa sebenarnya.
“Chintya, bangun! Aku bilang bangun!”, kataku sambil menariknya berdiri.
Dia menangis. Membuatku bingung.
“Chin, tolong ceritain ada apa sebenernya? Kenapa kamu bilang aku harus mengembalikan Sandy sama kamu?”, tanyaku.
Chintya malah menangis sesenggukan. Aku meraih tempat tisu di meja dan menyerahkan padanya. Kubimbing dia untuk duduk. Aku mengikutinya. Kini Chintya mulai sedikit tenang. Aku memintanya untuk menceritakan semuanya. Termasuk maksud kedatangannya ke rumah suamiku.
“OK! Sekarang kamu ceritain ada apa sebenernya?”, tanyaku perlahan.
“Sandy… Dia membatalkan pernikahan kami”
“Apa? Membatalkan pernikahan kalian? Kenapa?”
“Aku juga nggak tau, Al! Padahal saat ini aku sedang mengandung anaknya”
“Anak? Jadi, kamu hamil? Dan itu anak Sandy?”, tanyaku tak percaya.
Chintya mengangguk. “Awalnya aku pikir dia bercanda. Tapi ternyata dia serius. Dia udah nggak pernah lagi menghubungi aku. Itu sebabnya aku nyusul dia kesini. Aku ingin tau apa alasan dia ninggalin aku. Ternyata itu karna kamu, Al. Dia bahkan nggak ngakuin kalo anak yang aku kandung ini adalah anaknya. Dia berubah sejak ketemu kamu”, jelas Chintya ditengah isaknya.
Aku merasa bersalah mendengar cerita Chintya. Aku berdiri mendekati suamiku yang dari tadi mendengarkan percakapan kami. Di depan mertuaku juga aku tampak dibuat bingung oleh masalah ini. Sungguh aku nggak nyangka kalo kejadiannya bakal kayak gini. Tapi aku nggak mungkin menceritakan kedekatanku dengan Sandy akhir-akhir ini. Aku nggak mau surprise party yang sengaja aku siapkan untuk suamiku hancur berantakan. Akan sia-sia apa yang udah aku dan Sandy lakukan.
“OK! Aku sekarang tau apa masalahnya. Tapi aku nggak bisa ngejelasinnya sekarang. Em… Sayang, kalo kamu percaya sama aku, besok malem kamu dateng ke Brown Cafe. Jam 7 malem. Aku janji kamu bakal tau yang sebenernya terjadi. Aku mohon kamu bisa kasih aku waktu sampai besok”, kataku memohon.
Rio tersenyum hangat. Dia mengusap rambutku penuh cinta. “Tentu sayang… Aku percaya sama kamu. Aku akan dateng besok…”, ucapnya lembut membuatku tenang.
Aku menoleh pada Chintya. “Besok jam 7 malem aku tunggu kamu disana. Mudah-mudahan apa yang kamu lihat nanti adalah jawaban yang kamu inginkan”, kataku sambil mengusap lengan Chintya. Dia memelukku dan mengucapkan terima kasih padaku.
Malam ini aku sama sekali nggak bisa tidur. Banyak sekali pertanyaan-pertanyaan yang menggelayut dalam pikiranku. Chintya hamil. Sandy membatalkan pernikahannya. Dia menolak mengakui anak yang dikandung Chintya. Oh Tuhan… Ada apa sebenernya? Kenapa aku merasa terjebak dalam masalah asmara sahabatku? Hh… Mudah-mudahan besok kami bisa mendapatkan jawaban atas masalah ini.
Pagi ini aku berangkat ke kantor lebih awal. Aku ingin menyelesaikan pekerjaanku secepat mungkin. Karena hari ini adalah hari ulang tahun suamiku. Hari dimana aku telah menyiapkan surprise party untuknya. Dengan bantuan Sandy tentunya. Mungkin hari ini juga hari yang sangat ditunggu-tunggu oleh suamiku. Oleh Chintya juga. Karena hari ini dia akan tau apa sebenernya hubunganku dengan Sandy. Tak lebih dari seorang sahabat.
“Pagi banget ke kantornya? Ada meeting?”, tanya Rio yang masih berbalut selimut.
“Iya sayang! Tapi aku udah siapin sarapan buat kamu. Baju buat ke kantor juga udah aku siapin”, aku meraih handbag kesayanganku dan tak lupa memakai gelang mutiara pemberian suamiku beberapa bulan yang lalu. Gelang ini hampir tak pernah lupa aku pakai. Dengan memakainya aku merasa suamiku selalu ada untuk menggenggam tanganku.
“Oia, mungkin nanti aku nggak pulang dulu. Aku harus lembur sebentar. Kita ketemu nanti malam di Brown Cafe. Jangan lupa, kamu pakai baju yang di sakunya ada sulaman nama kita”, kataku mengingatkan.
“Dah sayang!”, aku mengecup keningnya. Dia kembali memejamkan mata.
Jam masih menunjukkan pukul 2 siang. Rasanya nggak sabar nunggu nanti malam. Aku mencoba menghubungi Sandy. Tapi sama sekali nggak ada jawaban. Aku jadi khawatir. Jangan-jangan dia tau kalo Chintya ada di sini. Ah! Nggak mungkin. Kami sudah sepakat untuk bertemu nanti malam. Mungkin Sandy masih sibuk menyiapkan beberapa hal untuk acara nanti malam.
“Hah… Malam ini bukan cuma Rio yang akan terkejut. Tapi juga Sandy… Dia pasti kaget karena Chintya dateng nyusulin dia”, kataku sambil tertawa lirih.
Pukul 7 malam aku sudah berada di Brown Cafe. Suasana di tempat itu begitu sunyi. Aku sengaja memesan tempat ini untuk acara ulang tahun Rio. Selain karena tempatnya yang indah, tempat ini juga menyimpan banyak kenangan semasa kami pacaran. Ini adalah tempat favoritku. Tempat favorit Sandy juga sich!
Sebuah mobil sedan merah berhenti di depan cafe. Aku tau siapa yang berada di balik kemudi. Rio. Dia ke luar dengan mengenakan kemeja biru lengan panjang. Sudah menjadi kebiasaanya melipat bagian lengannya hingga mendekati siku. Di bagian sakunya terdapat sulaman inisial nama kami. RA. Rio Alya. Aku sengaja memesan kemeja itu waktu berlibur ke Lombok sebulan yang lalu.
Aku tersadar dari lamunan setelah kutau ada mobil lain yang terparkir di belakang mobil suamiku. Itu pasti Chintya. Mudah-mudahan dia bisa bersabar hingga pestanya usai.
Rio berjalan masuk menuju cafe. Dia tampak heran karena keadaan disini begitu gelap.
“Alya! Kamu disini?”, dia memanggilku setengah berteriak. Aku keluar dari dalam dengan membawa kue ulang tahun dengan beberapa lilin di atasnya.
“Happy Birthday to you… Happy Birthday to you… Happy Birthday dear My Love. Happy Birthday to you…”, aku mendekatkan kue itu pada Rio. Tampak wajahnya yang begitu terkejut di tengah-tengah cahaya lilin.
“Don’t forget to make a wish honey!”, kataku sebelum dia meniup lilinnya.
Rio memejamkan mata kemudian meniup semua lilin hingga ruangan kembali gelap. Tiba-tiba Sandy menyalakan lampu dan berteriak “Surprise…!!!”
Rio kaget. Ada teman-teman Rio, adik-adiknya, adik-adikku, dan beberapa kerabat dekat. Mereka semua sengaja kuundang untuk ikut pesta ini.
“Alya… Ini…”
“Iya! This is for you!”
Dia memelukku dan mengecup keningku mesra.
“Selamat ulang tahun sayang… Semoga hubungan kita tetep langgeng!”, kataku sambil mencium lembut bibirnya.
“Terima kasih! I’m so surprised! Gimana kamu bikin semua ini?”
“Nah! Inilah yang ingin aku jelasin ke kamu. Mungkin ini juga adalah jawaban dari masalah yang kemarin”
“Maksud kamu?”, tanya Rio.
“Sandy, sini dech!”, panggilku pada sahabat terbaikku.
Sandy bingung. Dia berjalan menghampiriku. Seolah ada seribu tanda tanya besar di kepalanya.
“Sayang, Sandy yang bantu aku nyiapin surprise party ini buat kamu. Bahkan sebenernya dia yang punya ide ini. Itu sebabnya aku jadi sering ketemu dia. Sering jalan bareng dia. Tapi itu semua nggak lebih dari sekedar partner kerja. Maksudku partner buat bikin pesta ini”
“Ow… Jadi gitu ceritanya… Lalu Chintya?”, tanya Rio tiba-tiba.
“Chintya?”, tanya Sandy heran.
“Oia… San, gue juga punya kejutan buat loe! Tunggu ya?”
Aku berlari ke luar dan masuk kembali dengan menggandeng seorang wanita.
“Chintya?”, ucap Sandy lirih.
“Sandy…”, Chintya segera berlari memeluk Sandy seolah telah lama mereka berpisah.
Aku berjalan mendekati suamiku. Aku terharu menyaksikan pertemuan mereka. Kugenggam tangan suamiku. Seolah berharap tak pernah terpisahkan dengannya.
Namun tiba-tiba kami dikejutkan dengan ulah Sandy. Dia mendorong Chintya hingga punggungnya menabrak meja.
“Sandy!”, teriak Chintya.
“Ngapain kamu di sini?”, tanya Sandy dengan nada sangat emosi. Aku baru tau bagaimana sahabatku itu kalo marah.
“Aku kesini untuk kamu, San! Aku ingin kamu kembali…”
“Untuk apa? Untuk menutupi aib kamu yang udah hamil dengan orang lain?”, kata Sandy yang membuatku tak percaya. Sahabatku benar-benar tidak mengakui anaknya.
“Sandy!”, teriakku. “Loe gila ya! Loe nggak ngakuin kalo anak yang dikandung Chintya itu adalah anak loe? Loe bener-bener keterlaluan tau nggak? Loe pengecut!”, kataku kecewa.
“Apa? Loe bilang gue pengecut? Al, loe tau gue. Loe tau gue nggak mungkin nglakuin itu..”, jelas Sandy.
“Kalo bukan loe bapaknya, lalu siapa?”, tanyaku masih dengan nada tinggi.
“Loe pengen tau siapa bapak dari anak yang dikandung Chintya? Loe pengen tau?!”, Sandy menantang. Aku menatapnya tajam.
“Dia. Dia bapak dari anak yang dikandung Chintya. Dia adalah pengecut itu!”, tutur Sandy sambil menunjuk ke arah Rio.
Bagai disambar petir aku mendengarnya. Hingga tanpa sadar aku menampar Sandy dengan keras. Plak!!! Suasana hening sejenak. Di depan banyak orang dia menuduh suamiku yang menghamili Chintya. Sesaat aku berubah membencinya.
“Apa maksud loe dengan nuduh suami gue? Apa?”, aku semakin sengit berteriak di depan muka Sandy.
“Gue nggak nuduh suami loe! Gue bicara yang sebenernya. Rio emang bapaknya!”
“Nggak mungkin! Nggak mungkin suami gue! Nggak mungkin…”, aku menangis dan menatap Rio lekat-lekat. Tampak kegelisahan di wajahnya. Tapi aku benar-benar tak percaya. “Sayang… Itu nggak mungkin kan? Itu semua bohong kan? Iya kan? Sayang! Tolong jawab aku!”, teriakku seraya menggoyang-goyangkan lengan Rio dengan kasar
Aku kecewa. Aku nyaris pingsan namun Chintya tiba-tiba meraihku. Aku menepisnya dan berjalan terhuyung ke arah Sandy.
“San, becanda loe kelewatan banget! Loe udah nuduh suami gue! Apa yang sebenernya loe mau? Loe mau ngrusak rumah tangga gue?”, kataku sinis.
“Gue nggak becanda, Al! Loe inget waktu gue tanya tentang gelang mutiara yang loe pake? Itu bukan punya Rio. Tapi punya gue. Gue kasih gelang itu ke Chintya supaya dia selalu ngerasa kalo gue selalu ada sama dia. Tapi gelang itu hilang. Katanya ada saudaranya yang iseng ngambil gelang itu. Dan anehnya tiba-tiba gelang itu udah ada di tangan loe. Hh… Gue yakin Rio nggak pernah ngasih gelang itu ke loe. Ya kan?”
Aku menoleh ke arah Rio. “Gue temuin ini di saku kemeja Rio sepulang dari Jogja. Dia bilang dia sengaja mau kasih kejutan, tapi udah keduluan gue yang nemuin”
“Loe inget waktu pertama kali loe lihat hp baru gue? Loe bilang hp itu mirip kayak punya suami loe yang hilang. Iya! Itu emang hp suami loe. Gue sengaja nemuin itu di bawah bantal, di kamar kos Chintya. Kalo loe nggak percaya loe bisa cek isinya. Masih ada foto-foto yang mungkin bisa jadi bukti”
Aku mengangguk seraya meraih hp dari tangan Sandy. Aku tersenyum sendiri. “Kamu bilang hp kamu dicopet kan waktu di jogja? Apa yang nyopet itu Sandy?”, tanyaku ketus pada Rio.
“Heh! Jadi ini hasil bisnis kamu di Jogja? Hh… I’m so surprised honey! I’m so surprised!”, kataku mendekat pada Rio. Mataku basah oleh air mata.
“Sayang, aku bisa jelasin ini..”
“Jelasin apa lagi? Semuanya udah jelas buat aku! Aku bener-bener kecewa sama kamu. Kamu jahat! Rasanya aku pengen banget nampar muka kamu! Tapi aku nggak mau ngotorin tangan aku dengan menyentuh laki-laki bejat seperti kamu!”, kataku sambil meninggalkan tempat itu.
“Al, Alya!”, Rio menahanku. Aku membanting tangannya.
“Lepasin aku! Tangan aku haram disentuh oleh laki-laki penghianat!”
Aku berlari meninggalkan semuanya. Seolah tak ingin ada yang mengikuti. Aku berlari begitu kencang. Dengan menangis. Hingga tak kudengar suara yang memanggilku.
Malam ini hatiku benar-benar sakit. Aku sedih karena suami yang selama ini sangat aku cintai tega mengkhianatiku. Aku memang belum bisa memberinya anak. Bukan karena aku mandul. Tapi karena Tuhan masih belum mempercayai aku untuk jadi seorang ibu. Aku menangis sejadi-jadinya. Meluapkan semua rasa sakit yang mungkin nggak akan pernah aku duga sebelumnya. Surprise party itu ternyata bukan untuk suamiku. Tapi untukku. Kenapa semua ini bisa terjadi padaku? Kenapa Tuhan?
Sebulan setelah peristiwa menyakitkan itu, aku memutuskan untuk bercerai. Mungkin ini keputusan yang berat karena aku begitu mencintai suamiku. Tapi ini adalah keputusan terbaik. Rio dan Chintya menikah. Tapi, Chintya keguguran di usia ke 4 kandungannya. Dia sempat mengaku padaku kalau sebelumnya Rio dan Chintya pernah pacaran. Jauh sebelum Rio mengenalku. Dan kenapa sampai dia meminta pertanggungjawaban Sandy atas kehamilannya. Ternyata itu semua sudah direncanakan. Bahkan sebelumnya Chintya pernah hampir menjebak Sandy. Agar seolah-olah dia hamil dengan Sandy. Bukan dengan Rio.
Hh! Aku nggak nyangka Chintya yang aku kenal lugu tega berbuat seperti itu. Aku memilih untuk tinggal dan menetap di Surabaya. Menjauh dari masa lalu yang menorehkan luka.
Sandy, entah di mana dia sekarang. Dia sama sekali nggak ngabarin aku. Hh… Terkadang aku berpikir kenapa gelang mutiara ini bisa sampai di tanganku. Apakah Tuhan telah manakdirkan kami? Ah! Nggak mungkin. Keberadaan siempunya sekarang aja aku nggak tau.
“Lagi nyariin gue?”, sebuah suara mengejutkanku.
Aku menoleh dan betapa terkejutnya aku melihat siapa yang berdiri di dekatku.
“Sandy?”
Akhirnya aku dipertemukan kembali dengannya. Setelah kejadian itu dia dipindah tugas ke Surabaya. Dan dia mengetahui dari sepupuku kalo aku juga di Surabaya. Ternyata selama ini dia juga mencariku.
“Udah dapet gantinya Chintya?”, tanyaku tiba-tiba.
Sandy mengangguk.
“Oia? Siapa?”, tanyaku penasaran.
Dia menoleh dan menatap mataku lekat. “Loe!”
“Hah? Gue? Becanda loe! Gue kan janda. Masa’ loe mau ama janda sich! Yang masih single kan banyak!”.
“Tapi gue maunya nikah sama cewek yang udah pake gelang dari nyokap gue”
Aku terkejut. Aku menatap gelang mutiara di tanganku. “Jadi ini dari almarhum nyokap loe?”
Sandy mengangguk. “Beliau pesen supaya gue makein gelang ini sama cewek yang bakal jadi istri gue. Nah! Gelang itu ada di loe kan? Jadi loe mesti jadi istri gue!”
Aku bener-bener nggak percaya. Sungguh rahasia Tuhan begitu sulit ditebak. Aku tersenyum dan memperhatikan gelang mutiara itu dengan bahagia. Gelang mutiara penyatu hati. Hatiku dan hati Sandy.

lirik lagu you are my everything

cheoeumbuteo geudaeyeossjyo
naege dagaol han saram
dan han beonui seuchimedo
nae nunbicci mareul hajyo

baramcheoreom seuchyeoganeun
inyeoni anigil baraeyo
babocheoreom meonjeo malhaji moshaessjyo
hal suga eopseossjyo

You Are My Everything
byeolcheoreom ssodajineun unmyeonge
geudaeraneun sarameul mannago
meomchwobeorin nae gaseumsoge
dan hanaui sarang
You Are My Everything

angaessoge pieonaneun
hayahge muldeureun geudae moseup
hansungane naege simjangi meomchul deut
dagawa beoryeossjyo

You Are My Everything
byeolcheoreom ssodajineun unmyeonge
geudaeraneun sarameul mannago
meomchwobeorin nae gaseumsoge
dan hanaui sarang
You Are My Everything

sijakdo mot haessdeon naui sarangeul
ijeneun malhal su issjyo
nugudo gajil su eopsneun gijeoginde

You Are My Everything
tteugeoun nae sarangeun geudaen geol
gyejeori byeonhaedo nan igose
meomchwobeorin nae gaseumsoge
dan hanaui sarang
You Are My Everything

lirik lagu hello

Hello, it's me
I was wondering if after all these years you'd like to meet
To go over everything
They say that time's supposed to heal ya, but I ain't done much healing

Hello, can you hear me?
I'm in California dreaming about who we used to be
When we were younger and free
I've forgotten how it felt before the world fell at our feet

There's such a difference between us
And a million miles

Hello from the other side
I must've called a thousand times
To tell you I'm sorry for everything that I've done
But when I call you never seem to be home

Hello from the outside
At least I can say that I've tried
To tell you I'm sorry for breaking your heart
But it don't matter, it clearly doesn't tear you apart
Anymore

Hello, how are you?
It's so typical of me to talk about myself, I'm sorry
I hope that you're well
Did you ever make it out of that town where nothing ever happened?

It's no secret that the both of us
Are running out of time

So hello from the other side
I must've called a thousand times
To tell you I'm sorry for everything that I've done
But when I call you never seem to be home

Hello from the outside
At least I can say that I've tried
To tell you I'm sorry for breaking your heart
But it don't matter, it clearly doesn't tear you apart
Anymore, ooooohh
Anymore, ooooohh
Anymore, ooooohh
Anymore, anymore

Hello from the other side
I must've called a thousand times
To tell you I'm sorry for everything that I've done
But when I call you never seem to be home

Hello from the outside
At least I can say that I've tried
To tell you I'm sorry for breaking your heart
But it don't matter, it clearly doesn't tear you apart
Anymore

cerpen sedih

seorang ayah baru saja pulang dari kantor nya namun betapa terkejutnya ia saat melihat di halaman rumahnya terpampang mobil mewah yang baru saja ia beli kemarin baret yang bergambarkan bunga layaknya di taman. Lantas sang ayah pun langsung memanggil pembantunya, sang ayah bertanya kepada pembantunya siapa yang telah melakukan ini semua, saat itu juga nina seorang anak perempuan yang cantik & juga lucu menghampirinya dan memeluknya sambil mengatakan “ayah, nina tadi menggambar bunga di mobil ayah agar mobil ayah terlihat lebih indah, bagus kan yah gambaran nina ?”
[sociallocker]
Sang ayah pun murka dan langsung saja mengambil sebuah rotan lalu memukul tangan anaknya bolak balik atas dan bawah, sambil menangis nina pun serontak mengucapkan “ampun ayah, salah nina apa kenapa ayah memukul nina” , sang ayah pun terus memukul tangan nina hingga memar dan berdarah tanpa seucap kata pun keluar dari mulutnya. Sang ibu hanya menonton dari kejauhan seolah setuju atas perlakukan suaminya.
Tak lama kemudian ayah pun menyuruh pembantunya untuk mengurung nina di gudang sebagai hukuman karena telah merusak mobil barunya, di dalam gudang nina merintih kesakitan sambil bertanya apa yang sudah nina perbuat, bukankah nina sudah memperindah mobil baru ayah, tapi kenapa ayah malah memukul nina. Pembantu pun iba kepada nina dan sangat prihatin melihat kejadian itu, pembantu itu langsung berbicara kepada ayah nina bahwa tangan nina luka parah berdarah dan juga memar. Lalu sang ayah pun hanya menyuruh pembantunya agar memberinya obat merah.
Sudah 3 hari nina dikurung didalam kamar tanpa diperbolehkan keluar sedetik pun, tepat di hari ke empat pembantu itu pun serontak kaget melihat nina meringkuk dengan badan pucat, saat meraba badannya ternyata nina panas tinggi. Pembantu itu pun langsung melaporkan hal tersebut kepada ayah nina, namun karena masih marahnya ayah nina, ia pun hanya berkata bawa saja ke klinik, itu hanya demam biasa.
Seminggu berkelang panas badan nina pun tak kunjung turun, pembantu pun menyarankan tuan nya agar nina dibawa kerumah sakit, mungkin karena amarah ayahnya sudah mulai reda nina pun segera dibawa ke rumah sakit. Dokter pun melakukan pemeriksaan dan betapa shock nya hati ayah dan ibu nina setelah mendengar ternyata nina terkena infeksi karena luka yang ia derita di kedua tangannya dan nina divonis harus di amputasi.
Sang ayah dan istrinya pun tertegun tanpa mengeluarkan sepatah kata pun, ia langsung menemui nina. Sambil menangis nina pun berucap “yah amputasi itu apa ? apa karena marahnya ayah hingga tangan nina harus di potong ? maafkan nina yah, nina janji gak akan merusak mobil ayah lagi, nina sayang ayah, nina tidak akan nakal lagi tapi nina mohon agar tangan nina tidak dipotong. Nina masih mau bermain bersama ayah dan ibu tolong maafkan nina yah” , ketika mendengar ucapan tersebut ayah dan ibu nina langsung menangis sejadi jadinya dan spontan memeluk nina yang terkulai lemas. Hingga saat itu nina pun bahagia karena disayang oleh orang tuanya walaupun kedua tangannya harus di amputasi, “nina sayang ayah dan ibu, nina janji akan membahagiakan ayah dan ibu hingga nina besar nanti walaupun tangan nina harus dipotong” janji nina kepada orang tuanya kala itu.
[/sociallocker]
Itulah tadi cerita sedih yang sangat miris, bagi kalian yang sudah memiliki anak, sayangilah anak kalian. Peluk dan cium ia sekarang. Terkadang kita tak dapat menahan emosi karena ulahnya namun yang harus anda tahu mereka melakukan itu karena naluri mereka, itu mereka lakukan karena mereka ingin mendapatkan perhatian lebih dari anda dengan caranya sendiri. Semoga dengan membaca cerita sedih ini kita akan sadar betapa berharganya seorang anak dan jangan karena hal sepeleh kita akan menyesal untuk selama lamanya. Terimakasih.

cerpen sedih


BIARKAN AKU YANG PERGI
Karya Dinda Pelangi

Malam yang sejuk mengiringi kesepianku. Angin malam turut membelai lembut rambutku. Menemaniku yang tengah sendiri menatap indahnya bumi. Sebagai teman paling setia dikesendirianku dalam ketidakadilan ini.
“Oh Tuhan, kapan semuanya akan berubah?” tanyaku dalam pengharapan.

Tiba-tiba pintu kamarku diketuk dengan cukup pelan.
“pasti bi Imah.” Tebakku
“iya, sebentar!” sahutku sembari berjalan dari serambi kamar.
“Maaf non, waktunya makan malam. Yang lain sudah ngumpul dibawah.” Ucap Bi Imah saat pintu kamarku terbuka.
“ok bi Dera juga udah lapeer banget.” Candaku padanya.
Bi Imah adalah seseorang yang merawatku sejak lahir. Bagiku, ia sudah seperti Ibu kandungku. Dirumahku, hanya Bi Imah yang peduli dengan keadaanku. Disaat aku sakit, hanya ia yang selalu repot menyiapkan obat, hanya ia yang selalu tahu betapa sedihnya aku disaat nilai raportku jauh dari nilai kak Dara. Hanya ia yang tahu betapa aku ingin seperti kak Dara, saudara kembarku.
****

Biarkan Aku yang Pergi
“wah ada ayam bakar nih. Heem maknyus” ucapku seraya menduduki kursi favoritku.
“dasar gak sopan…” sindir Ayah padaku.
“makanya, jangan nyerocos aja dong jadi cewek.” Timpal kakakku, Virgo.
“iya Dera, kamu duduk dulu baru ngomong, kan ada Papa sama Mama disini. Jadi sopan dikit Ra.” Tambah Kak Dara.
“iya Dera, betul tuh kata Dara. Contoh dia.” Tambah Ibu lagi.
“ok, aku pergi. Silahkan makan!!” ucapku dengan sinis.
Akupun bergegas naik menuju kamarku tanpa sedikitpun menyentuh makanan disana. Padahal sebenarnya maagku kambuh dan rasanya sangat perih. Tapi lebih perih lagi disaat aku tak pernah mendapatkan kasih sayang dari semua orang yang aku sayangi.
****

Matahari menjelma masuk kedalam kamarku yang pemiliknya masih tertidur lelap. Hingga aku terbangun karena silaunya sinar yang menerpa mataku.
“humh, udah pagi to” ucapku pada diri sendiri,

Aku bergegas mandi dan memakai pakaian sekolahku. Dengan aksesoris biru yang lengkap. Pagi ini, aku tak ingin sarapan. Aku hanya mengunjungi Bi Imah yang ternyata sedang menyiapkan bekal untukku.
“makasih ya Bi, Dera sayang Bibi.” Ucapku dengan tulus padanya
“iya non, Bibi juga sayangg banget sama non Dera, semangat ya Non sekolahnya.” Sahut bi Imah menyemangati.
Setibanya disekolah, aku segera menuju ruangan tempatku ulangan. Jadwal hari ini adalah matematika dan bahasa inggris. Pelajaran menghitung yang sangat menyebalkan untukku. Karena aku tak seperti kak Dara yang jago menghitung. Dugaanku tepat, soal kali ini susahnya minta ampun. Hingga kertas ulanganku hampir tak terisi. Namun kalau bahasa inggris, inilah kehebatanku. Semua soal dapat kukerjakan dengan mudah. Karena sejak kecil aku sudah sangat hebat berbahasa inggris. Seperti Om Frans dan Tante Siska yang semasa di Jakarta sangat menyayangiku jauh lebih besar dari orang tua kandungku. Namun kini mereka telah pindah ke Amerika dengan anaknya, Dimas.
****

Waktu seakan berjalan dengan sungguh cepat, kini saatnya pembagian hasil belajar siswa. Kebetulan, aku dan kak Dera berbeda kelas dan sekolah. Kalau aku masih berada dikelas satu SMA, sedangkan ia sudah berada dikelas dua. Semua terjadi karena aku pernah tak naik kelas sewaktu disekolah dasar. Kalau kak Dara sengaja Papa sekolahkah di sekolah terfavorit di Jakarta, sedangkan aku bersekolah di SMA yang didalamnya hanyalah siswa buangan dari sekolah lain yang tidak menerima kami. Karena nilaiku tak sehebat nilai kak Dara dan Kak Virgo. Mereka memiliki IQ yang jauh lebih tinggi daripada aku.
“Pa, ambilin raport Dera ya.” Pintaku
“Papa sudah janji sama Dara kalau Papa yang akan mengambilkan raportnya. Kalian kan beda sekolah.” Jawab Ayahku.
“Ma, ambilin raport Dera ya!” pintaku lagi pada Mama.
“Mama udah janji sama Virgo ngambilib raportnya, dia kan sudah kelas tiga jadi harus diwakilin.” Jawab Mama.
“oh gitu ya.” Balasku dengan kecewa.

Aku hanya bisa menangis sendirian didalam kamar. Tidak ada satu orangpun yang mau mengambilkan raportku. Jalan terakhir adalah Bi Imah. Dan tentu saja ia sangat mau mengambilkan raportku.
“Gimana bi hasilnya?” tanyaku dengan penasaran
“Non Dera juara 1 non.” Ucap bi Imah dengan semangat.
“hah? Beneran bi?” sahutku tak kalah semangat.
Ternyata usahaku tak sia-sia, akhirnya aku bisa menyamai prestasi kak Dara.
****

Setibanya dirumah, semua orang yang sedang tertawa ria melihat hasil belajar kak Dara dan kak Virgo menjadi terdiam disaat kedatanganku dan Bi Imah.
“gimana hasilnya Ra?, pasti jelek.” Ucap kak Virgo menyindirku.
“gak ko, aku juara 1.” Ucapku dengan semangat.
“ah, juara 1 disekolahmu pasti juara terakhir dikelas Dara.” Ledek Ayah padaku.

Aku kecewa, benar-benar kecewa karena semua prestasi yang kuraih tak penah dihargai sama sekali. Dengan kecewa aku berlari menuju kamarku, kuratapi semua ketidakadilan ini. Aku tidak keluar kamar selama dua haripun tak ada yang peduli. Semua orang dirumah hanya sibuk dengan pekerjaannya masing-masing, tak terkecuali Bi Imah yang hampir setiap jam membujukku untuk keluar. Maagku kambuh, rasanya teramat perih dari yang biasanya.
“oh Tuhan, kuatkan aku!” pintaku

Dihari ketiga aksi diamku dikamar, tiba-tiba rumahku terdengar sebuah suara yang sangat kukenal. Ternyata hari ini, keluarga Om Frans sudah tiba di Jakarta untuk berlibur bersama keluarga kami.
“Dimas? Aku merindukanmu.” Ucapku dengan tertunduk lesu dikamar.
Aku keluar kamar untuk menemuinya, namun ternyata ia sudah berubah dan tak peduli lagi padaku. Semuanya benar-benar berubah, dan kini janjinya ia ingkari untuk menemuiku. Penantianku sia-sia, semua orang telah membenciku dan menjauhiku. Aku sendirian dirumah, bi Imah pulang kekampung karena anaknya sakit. Sedangkan yang lain sedang makan malam dihotel. Dan aku? Tertinggal disini.
****

Aku hanya makan dan terus memasukkan roti berselai srikaya kemulutku. Sedangkan yang lain asyik berbincang-bincang dengan topic kak Dara dan Dimas. Yang aku tahu, mereka terus membanggakan dua orang yang berprestasi tersebut. Hingga Om Frans dan Tante Siska juga turut berubah padaku. Semua orang mengucilkanku disini. Sesudah sarapan pagiku habis, aku segera pamit menuju taman belakang yang ternyata disana ada kak Dara dan seseorang yang sangat aku sayangi, kak Dimas. Disana, aku sedang melihatnya memberikan setangkai mawar pada kak Dara. Ternyata mereka sudah jadian dan aku tahu, bahwa kak Dimas telah melupakanku.
****

Akhirnya, hari yang telah lama kunantikan tiba juga. Hari ini, pertandingan karateku akan berlangsung. Namun sayang, semua orang yang kusayang tak ada yang mau hadir disini. Semuanya memilih hadir dilomba kak Dara, olimoiade sains. Walau sedikit kecewa, akan kubuktikan bahwa aku adalah Dera yang hebat. Keinginanku terwujud, aku menang dan meraih juara satu dipertandingan karate nasional yang diadakan di Jakarta.
“kita panggil, juara nasional karate tahun ini. Alderaya Zivanna dari Jakarta.” Panggil pembawa acara.
Dengan diiringi tepuk tangan meriah, ku naiki podium kebesaranku, dan kurasakan aku sangat dihargai disini.
****

Setibanya dirumah, kuletakkan foto keberhasilanku diruang tamu, namun disaat kedatangan kak Dara dan yang lainnya, kulihat kemurungan disana. Dan setelah melihat foto keberhasilanku, kak Dara malah menangis dan berlari menuju kamarnya.
“kamu sengaja meledek Dara?” Tanya Papa dengan sinis.
“gak pa! maksud Papa apa sih?” tanyaku tak mengerti.
“Dara kalah sedangkan kamu menyombongkan diri dengan memajang fotomu diruang ini. kamu tahu kan bahwa diruang ini hanya foto-foto keberhasilan Dara yang boleh menempatinya.” Jawab Papa yang membuatku sangat kecewa.
“Lepas Fotomu!” ucap Mama dengan agak ketus padaku.

Kulepas foto yang sangat aku harapkan menjadi penghubung agar keluargaku menyanjungku. Sebuah harapan yang sejak dulu selalu ku inginkan. Karena aku selalu iri disetiap kak Dara dipuji dan disanjung oleh papa dan mama, serta semua tamu yang pernah berkunjung kerumahku. Sekarang pertanyaan terbesarku adalah,
“apakah aku anak kandungmu Ma? Pa?”
Pertanyaan yang tak pernah terjawab oleh lisan, namun terjawab oleh perbuatan mereka padaku. Seorang anak yang selalu tersingkirkan oleh ketidakadilan.
****

Hari demi hari terus berganti, dan semenjak itu pula kak Dara menjadi seseorang yang terpuruk. Aku bisa merasakan perasaannya yang tertekan karena ia kalah diolimpiade. Yang kutahu, saudara kembarku ini terlihat lemah dari yang biasanya.
“Udahlah kak, gak ada gunanya ditangisin terus.” Ucapku menyemangati.
“udahlah Ra, kamu senang kan ngeliat aku kaya gini? Kamu senang kan ngeliat aku kalah?” jawabnya dengan menangis.
“gak ka, gak. Aku gak pernah ada niatan kaya gitu.” Sahutku.
“udahlah, pergi kamu dari kamarku, pergi…” ucapnya terpotong karena akhirnya ia terjatuh tepat didepanku.
“Pa, Ma, tolong kak Dara. Kak Dara pingsan Pa!” beritahuku
“apa? Kamu apain sih dia?” Tanya Papa sinis padaku.
“aku, aku gak ada ngapa-ngapain dia pa.” sahutku dengan menyembunyikan kesakitanku.
“pasti penyakitnya kambuh lagi pa, ayo cepat kita bawa kerumah sakit.” Ucapku pada Papa.
****

Hari ini tepat seminggu sebelum ulang tahunku dengan kak Dara. Aku takut kehilangannya, saudara kembarku yang sangat aku sayangi. Dokter bilang bahwa ginjalnya sudah benar-benar rusak. Yang aku tahu, kini ginjalnya hanya satu setelah setahun yang lalu satu ginjalnya sudah diangkat. Sedangkan aku masih mempunyai dua ginjal.
“hanya saudara kembarnya yang ginjalnya cocok dengan Dara. Jadi usahakan dengan secepat mungkin diadakan pencangkokan ginjal Pak” beritahu dokter pada Papa.

Setelah itu, aku menjadi sasaran semua orang yang menyayangi kak Dara. Semuanya memintaku untuk mendonorkan satu ginjalku padanya. Niatku memang sudah bulat bahwa aku akan mendonorkan kedua ginjalku pada kak Dara, tapi aku tak ingin ada yang tahu semuanya. Karena aku tidak mau mereka akan menyayangiku karena bersimpati denganku yang telah memberikan satu ginjal pada saudaraku. Aku hanya ingin kasih sayang tulus dari mereka, entahlah bagaimana caranya agar aku mendapatkannya.
“ah sudahlah Dera, kamu memang saudara yang kejam. Hanya menyumbangkan satu ginjal saja tidak mau. Untunglah ada seseorang yang baik hati yang mau menyumbangkannya pada Dara.” Ucap Papa
“aku kecewa sama kamu Dera, tega ya kamu sama kakak kamu sendiri.” Ucap Dimas dengan kecewa padaku.
“siapa yang mendonorkan ginjalnya Pa?” Tanya kak Virgo.
“entahlah, pendonor itu tidak mau diberitahu namanya. Bahkan ia memberikan dua ginjalnya dengan gratis pada Dara. Dia benar-benar berhati malaikat.” Jawab papa.
“andaikan kalian tahu kalau itu aku? Apakah aku akan diberi penghargaan dari Papa?” gumamku dalam hati.
****

Beberapa jam sebelum operasi pencangkokan dilakukan, aku menulis sebuah surat untuk semua orang yang aku sayangi. Entahlah, aku merasa akan meninggalkan mereka semua. Rasanya, aku sudah sangat lelah dengan hidupku sendiri. Sesudah selesai ku tulis, surat itu kutitipkan pada Bi Imah. Akupun berangkat menuju rumah sakit untuk segera menjalani operasi.

@ ruang operasi
Ruang ini tersasa begitu menakutkan. Semua benda yang kulihat hanyalah jarum suntik dan gunting. Alat-alat yang terlihat menakutkan bagiku. Aku dibawa lebih dulu keruang ini, agar tidak ada yang tahu siapa aku sebenarnya. Posisiku dan kak Dara dipisahkan oleh dinding pembatas. Hingga akhirnya aku dibius, dan kurasakan semuanya gelap.
****

Seminggu kemudian. . . .
“akhirnya kamu sembuh juga sayang. Mama khawatir banget sama kamu sejak kamu dioperasi. Untung ada pendonor itu.” Ucap Mamanya dengan penuh kasih sayang.
“Dan Happy Brithday Dara…” ucap semua orang serentak
“Makasih ya semuanya. Aku senanggg banget. Oya, Dera mana ya Ma? Gak tau kenapa Dara kepikiran dia terus. Hari ini kan ulang tahun kami” Sahut Dara.
“iya ya? Mana dia Bi?” Tanya Ibunya pada Bi Imah
“Sebentar nyonya.” Jawab Bi Imah dengan berlari menuju kamar Dara.

Dan beberapa menit kemudian sudah tiba dengan membawa sepucuk surat.
“ini surat dari Non Dera sebelum pergi.” Beritahu Bi Imah.
Walau agak heran, Ibunya pun membacanya dengan agak keras.
Untuk semua orang yang sangaaat Dera sayang
Mungkin saat kalian baca surat ini Dera gak ada lagi disini. Dera udah pergi ketempat yang saangaat jaauh. Oya, gimana kabar kak Dara? Gak sakit lagi kan? Semoga ginjalku dapat membantumu untuk meraih semua mimpi-mimpimu yang belum terwujud.

Teruntuk PAPA yang SANGAT KURINDUKAN
Gimana Pa? rumah kita udah tenang belum? Gak ada yang gak sopan lagi kan? Oh pasti gak ada dong ya? Ya iyalah, Dera si pembuat onar kan udah gak ada.

Teruntuk MAMA yang SANGAT-SANGAT KU RINDUKAN
Ma, Dera pasti akan sangat rindu dengan teddy bear pemberian Mama lima tahun yang lalu. Ma, Dera kangeeen banget pelukan Mama. Dera selalu iri saat Mama hanya mencium kak Dara disaat ia tidur. Dera iri melihat Mama yang selalu menyemangati kak Dara disaat ia sedang sedih. Dera iri dengan semua perhatian yang Mama berikan pada kak Virgo dan kak Dara. Dera sangaat iri.

Teruntuk KAK VIRGO dan saudara kembarku, DARA
Gimana kak, gak ada lagi kan yang ganggu kalian belajar? Gak ada lagi kan yang nyetel music keras-keras dikamar? Pasti rumah kita tenang ya, pastinya gak akan ada lagi yang akan membuat kalian malu karena punya saudara yang bodoh bukan? Oh, pastinya. Oya, SELAMAT ULANG TAHUN YA KAK, SELAMAT MENJALANI UMURMU YANG KE-17 TAHUN. Yang mungkin takkan pernah aku rasakan.

Kalian semua harus tau, betapa AKU SANGAT MENYAYANGI KALIAN. Mungkin dengan kepergianku, smeuanya akan tenang dan rumah kita menjadi tentram. Dera harap, gak aka ada lagi yang terkucilkan seperti Dera. Yang selalu menangis setiap malam. Yang selalu merindukan hangatnya kekeluargaan. Mungkin dengan kepergian ini, aku akan tahu bagaimana kalian akan mengenangku, seperti akuyang selalu mengenang kalian setiap malam dengan tangisan. . . Semoga KALIAN SEMUA BAHAGIA TANPA DERA, AAMIIN.
Salam rindu penuh tangis bahagia

Alderaya Zivanna
Semua yang mendengar menangis. Mereka bertanya-tanya pada Bi Imah dimana Dera. Namun tiba-tiba telepon rumah berbunyi..
“iya, saya Hermawan, ada apa ya?” Tanya Papanya dengan penasaran.

Dan sesaat kemudian Papanya menangis dan segera mengajak anggota keluarganya ke Rumah sakit. Dan mereka terlambat, Dera telah pergi untuk selama-lamanya. Dan menginggalkan berjuta penyesalan disetiap tangis yang jatuh. Kini, ia telah tenang dan jauh dari ketidakadilan selama hidupnya. Walau air mata tengah menangisinya yang telah pergi untuk selama-lamanya. . .
The End

asal usul danau singkarak

Di sebuah desa yang terletak di Sumatra Barat, hiduplah Pak Buyung, istri, dan seorang anak yang bernama Indra. Mereka tinggal di sebuah gubuk kecil di pinggir laut.

Sehari-hari, Pak Buyung dan istrinya mengumpulkan hasil-hasil hutan dan menangkap ikan di laut untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Setiap pagi, mereka mencari manau, rotan, dan damar, kemudian menjualnya di pasar. Jika musim ikan tiba, mereka pergi ke laut untuk menangkap ikan dengan menggunakan jala, pancing, atau bubu.

Ketika sudah berusia 10 tahun, Indra mulai diajak membantu orangtuanya ke hutan dan laut. Ia anak yang rajin dan tidak pernah mengeluh. Ayah dan ibunya sangat bangga kepadanya. Hanya satu hal yang membuat mereka resah, yaitu nafsu makan Indra yang sangat besar. Sekali makan, ia biasa menghabiskan setengah bakul nasi dan beberapa piring lauk.

Suatu saat, tibalah musim paceklik. Hasil hutan dan hasil laut semakin sulit didapat. Keluarga ini menyantap ubi dan talas sebagai pengganti nasi. Ternyata, musim paceklik kali ini berlangsung lama, sehingga mereka semakin sulit mendapatkan bahan makanan. Mereka harus menahan lapar setiap harinya. Lama-kelamaan, keadaan ini membuat mereka menjadi lebih peduli pada diri sendiri daripada kepada anaknya.

Suatu hari, Indra mengeluh perutnya sangat lapar. Sudah berhari-hari mereka hanya makan ubi bakar. Ia menangis dan mengadu kepada ayahnya. “Ayah, aku lapar sekali. Bisakah ayah beri aku makanan?” rengeknya. “Anak malas! Jika kamu lapar, pergi sana mencari manakan sendiri di hutan atau di laut!” ujar ayahnya.

Sang ibu mencoba membela Indra, karena Indra masih kecil. Namun, ayahnya tetap bersikeras agar Indra mencari makan sendiri. Berkat bujukan   ibunya, Indra pun berangkat mencari makan menuju hutan di Bukit Junjung Sirih.

Sebelum berangkat, Indra terlebih dulu memberi makan ayam piaraannya yang bernama Taduang. Ayam tersebut sangat setia kepada Indra. Setiap kali Indra datang atau pulang ke rumah, ia selalu berkokok menyambutnya.

Dari pagi sampai siang hari, Indra pergi mencari makanan ke hutan dan ke laut. Namun sampai siang hari, tak sedikit pun didapatinya makanan untuk mengisi perutnya yang lapar. Maka, ia pun kembali pulang.
Keesokan harinya, sang ayah kembali menyuruhnya pergi mencari makanan. Sementara ayah dan ibunya hanya tidur-tidur di rumah. Mereka seperti sudah pasrah terhadap keadaan. Sampai sebulan keadaan ini berlangsung dan Indra merasa tubuhnya sangat lelah.

Suatu hari, ketika Indra sedang mencari makan ke laut, ibunya berhasil mendapatkan pensi (sejenis kerang yang ukurannya kecil), hasil tangkapannya bersama beberapa tetangga.

“Apa itu, Bu?” tanya suaminya.
Ibu Indra yang sedang mencuci bahan makanan mengatakan bahwa pensi sangat enak jika digulai. Ia lalu memasak gulai   pensi, aromanya membuat perut sang ayah semakin lapar.

“Wah, sedap sekali aromanya, Bu. Apakah ini cukup untuk kita bertiga? Ibu kan tahu Indra makannya banyak sekali. Rasanya tidak cukup,” kata sang ayah.

“Lalu bagaimana, Pak?”
“Begini saja, kita makan saja berdua selagi Indra pergi ke laut. Jika ia kembali, kita sembunyikan lauk ini. Si Taduang pasti akan berkokok jika Indra datang.”

Akhirnya, Pak Buyung dan istrinya menyantap gulai pensi tersebut dengan sangat lahap. Namun belum selesai mereka makan, si Taduang berkokok. Suami istri ini segera merapikan makanan dan menyembunyikannya di bawah tempat tidur. Ketika Indra masuk ke dalam rumah, ia melihat kedua orangtuanya sedang duduk-duduk bersantai.

“Maaf Ayah, aku tidak mendapatkan ikan sama sekali,” kata Indra.
“Jika kau tidak mendapatkan ikan, apa yang bisa kau makan?” kata Pak Buyung.
“Aku lelah sekali, Ayah. Bolehkan aku makan?”
“Baiklah kau boleh makan, tetapi kau harus mencuci ijuk ini terlebih dahulu hingga menjadi putih,” ibunya sambil menyodorkan seikat ijuk yang baru saya dibawa Pak Buyung dari hutan.

Indra pergi ke sungai untuk mencuci ijuk. Sekian lama ia mencuci, tetapi warna ijuk itu tidak bisa berubah. Kasihan Indra, ia tidak tahu bahwa ijuk tersebut memang berwarna hitam dan tidak akan bisa dijadikan putih meskipun dicuci. Ia tidak tahu bahwa ayah dan ibunya sedang meneruskan menyantap makanan dengan lahapnya di rumah.

Merasa tubuhnya sudah sangat lelah, Indra lalu kembali ke rumah. Sampai di rumah, ia pelan-pelan masuk ke dapur. Dengan sangat terkejut, ia melihat ayah dan ibunya sedang tertidur kekenyangan di dapur dengan sisa-sisa piring makan berserakan di sekitarnya. Tidak ada lagi makan yang tersisa.
Indra sangat sedih dengan apa yang dilihatnya. Ia tidak menyangka orangtuanya telah membohonginya. Dengan air mata menetes di pipinya, ia berjalan keluar dan menangkap ayam kesayanganya si Taduang. Mereka lalu duduk di sebuah batu di samping gubuk tempat tinggal Indra. 

“Ayah dan ibu sudah membohongiku, Taduang. Aku sangat sedih. Lebih baik aku pergi, karena ternyata mereka tidak menyayangiku,” isak Indra.

Taduang berkokok sebagai tanda bahwa ia mengerti perasaan tuannya. Ayam itu lalu mengepakkan sayapnya seolah-olah memberi tanda kepada Indra.

Indra berpegangan pada kaki Taduang. Lalu, ayam itu terbang perlahan dengan Indra yang bergantung pada kakinya. Ternyata, batu tempat mereka duduk itu terbawa di kaki Indra. Semakin ke atas batu tersebut semakin membesar dan menjadi berat. Taduang tidak lagi kuat terbang membawa Indra dan batu besar itu, Akhirnya, Indra menendang batu tersebut hingga jatuh ke bumi dan menghantam sebuah bukit yang letaknya di dekat lautan. Hempasan batu tersebut membuat lubang yang memanjang, Dengan cepat air langsung mengaliri lubang tersebut sehingga membentuk aliran sungai.

Menurut cerita, aliran tersebut adalah asal-usul terbentuknya Sungai Ombilin yang mengalir sampai Riau. Kemudian, air laut menjadi menyusut membentuk sebuah danau yang kemudian dinamakan Danau Singkarak.

Sementara itu, Indra dan ayam kesayangannya tidak diketahui keberadaannya.

AMANAT: Sifat suka mementingkan diri sendiri akan merugikan diri sendiri dan juga melukai hati orang lain.