Lolos moderasi pada: 20 November 2016
Pagi yang melelahkan. Rasanya aku males berangkat ke kantor. Tapi apa daya. Kerjaan lagi numpuk. Menunggu untuk segera dibereskan.
Sesampainya di kantor aku melihat beberapa memo menempel di layar monitorku
“Banyak banget sich! Nggak tau apa orang lagi capek!”, gerutuku sambil melepas satu persatu memo yang menempel.
Mataku melirik ke kalender meja di depanku. 12 Februari. Aku tersenyum. Segera kunyalakan komputer. Login my fb. Dan…
“Banyak banget sich! Nggak tau apa orang lagi capek!”, gerutuku sambil melepas satu persatu memo yang menempel.
Mataku melirik ke kalender meja di depanku. 12 Februari. Aku tersenyum. Segera kunyalakan komputer. Login my fb. Dan…
“Happy Birthday Sob… Mudah-mudahan gue bukan orang pertama yang ngucapin met ultah sama loe! Dan mudah-mudahan juga gue bukan yang terakhir… Hehehe… Kali ini gue nggak punya banyak doa buat loe! Cuma wish u all the best aja! Capcus…”
Pesanku singkat di dinding Sandy Febrianto. Sahabat kecilku. 4 bulan lagi dia akan menikah. Meski udah jarang ketemu lantaran statusku yang udah nikah lebih dulu dari pada dia, tapi dia tetaplah sahabat terbaikku. Karena cuma sama dia aku menceritakan semua masalah. Dan cuma dia yang bisa kasih solusi tanpa pernah aku bantah.
Mungkin kedengarannya aneh. Padahal aku sudah bersuami dan aku amat sangat mencintai suamiku. Tapi nggak bisa dipungkiri. Aku juga butuh teman berbagi. Meski sebenarnya suamiku akan dengan senang hati meluangkan waktunya untuk mendengar ceritaku. Tapi terkadang ada hal rahasia yang nggak mungkin aku ceritain sama dia.
Mungkin kedengarannya aneh. Padahal aku sudah bersuami dan aku amat sangat mencintai suamiku. Tapi nggak bisa dipungkiri. Aku juga butuh teman berbagi. Meski sebenarnya suamiku akan dengan senang hati meluangkan waktunya untuk mendengar ceritaku. Tapi terkadang ada hal rahasia yang nggak mungkin aku ceritain sama dia.
Tiba-tiba hpku berdering. Sebuah nama yang sangat kukenal tertera di layarnya.
“Sandy? Tumben…”, aku mengangkatnya.
“Hallo Sobat… Selamat ulang tahun…”, seruku penuh semangat.
“Hai… Makasih! Lagi dimana loe?”, tanyanya dengan nada riang.
“Lagi di kantor. Kenapa?”
“Jalan yuk! Gue traktir deh!”
“Hah? Jalan? Tumben banget loe ngajakin gue jalan? Biasanya bales sms gue aja nggak pernah! Mimpi apa loe?”, tanyaku heran.
“Yah malah ceramah! Mau nggak?”, tanya Sandy mendesakku.
“Huh… Dasar! Kapan?”
“Ntar siang. Di Brown Cafe. Gimana?”
“Emm… Sebenernya sich siang ini gue ada meeting. Tapi karena loe yang ngajak, kenapa nggak?!”
“OK! Ntar siang kita ketemu di sana!”, kata Sandy.
Terdengar Sandy memutus sambungannya. Tiba-tiba aku merasa senang sekali. Entah kenapa rasa capek yang aku rasain sejak berangkat kerja tadi mendadak hilang.
“Sandy? Tumben…”, aku mengangkatnya.
“Hallo Sobat… Selamat ulang tahun…”, seruku penuh semangat.
“Hai… Makasih! Lagi dimana loe?”, tanyanya dengan nada riang.
“Lagi di kantor. Kenapa?”
“Jalan yuk! Gue traktir deh!”
“Hah? Jalan? Tumben banget loe ngajakin gue jalan? Biasanya bales sms gue aja nggak pernah! Mimpi apa loe?”, tanyaku heran.
“Yah malah ceramah! Mau nggak?”, tanya Sandy mendesakku.
“Huh… Dasar! Kapan?”
“Ntar siang. Di Brown Cafe. Gimana?”
“Emm… Sebenernya sich siang ini gue ada meeting. Tapi karena loe yang ngajak, kenapa nggak?!”
“OK! Ntar siang kita ketemu di sana!”, kata Sandy.
Terdengar Sandy memutus sambungannya. Tiba-tiba aku merasa senang sekali. Entah kenapa rasa capek yang aku rasain sejak berangkat kerja tadi mendadak hilang.
Jam 1 lewat 10 menit. Aku terlambat tiba di Brown Cafe. Ini gara-gara Tim Penilai Aset yang bertanya ini-itu padaku. Aku celingukan mencari Sandy di sekeliling ruangan. Tapi sama sekali nggak ada sosok itu. Tiba-tiba ada yang menepuk bahuku dari belakang. Aku menoleh. Seorang lelaki bertubuh tegap dengan potongan rambut ala tentara berdiri tepat di depanku sambil membawa seikat bunga mawar berwarna merah.
“Lagi nyariin gue?”, katanya.
“Sialan! Gue kira loe udah pergi gara-gara gue telat dateng!”, kataku sambil membetulkan letak tali tasku.
“Hehehe… Gue malah ngiranya gue yang telat. Makanya gue mampir beliin ini buat loe”, Sandy menyerahkan bunga itu padaku.
“Buat gue?”, tanyaku meyakinkan.
Dia mengangguk sambil menoleh kanan kiri mencari meja yang kosong.
“Nggak salah? Kok mawar merah sich?”, tanyaku yang tak digubrisnya.
“Lagi nyariin gue?”, katanya.
“Sialan! Gue kira loe udah pergi gara-gara gue telat dateng!”, kataku sambil membetulkan letak tali tasku.
“Hehehe… Gue malah ngiranya gue yang telat. Makanya gue mampir beliin ini buat loe”, Sandy menyerahkan bunga itu padaku.
“Buat gue?”, tanyaku meyakinkan.
Dia mengangguk sambil menoleh kanan kiri mencari meja yang kosong.
“Nggak salah? Kok mawar merah sich?”, tanyaku yang tak digubrisnya.
Aku berjalan mengikuti dia menuju meja di sudut ruangan. Tempatnya begitu romantis. Menghadap ke sebuah kolam dengan taman bunga di sekelilingnya. Juga ada air terjun kecil yang tampak mengalirkan airnya menuju kolam.
“Nah! Kita duduk di sini aja”, kata Sandy.
Aku mengikutinya. Aku duduk berhadapan dengannya.
“Oia, mau langsung pesen atau ngobrol dulu neh?”.
“Gue langsung pesen makan aja. Laper…”, jawabku sambil mengusap-usap perutku.
“Ya udah kita pesen dulu. Mas!”, Sandy memanggil pelayan cafe dan memesan beberapa snack dan main course. Nggak lupa dia mesenin minuman favoritku. Air putih dingin. Hh… Sepertinya dia sangat hafal dengan kebiasaanku. Serasa dia adalah aku dan aku adalah dia. Emang bener-bener sahabat sejati. Pikirku dalam hati.
“Nah! Kita duduk di sini aja”, kata Sandy.
Aku mengikutinya. Aku duduk berhadapan dengannya.
“Oia, mau langsung pesen atau ngobrol dulu neh?”.
“Gue langsung pesen makan aja. Laper…”, jawabku sambil mengusap-usap perutku.
“Ya udah kita pesen dulu. Mas!”, Sandy memanggil pelayan cafe dan memesan beberapa snack dan main course. Nggak lupa dia mesenin minuman favoritku. Air putih dingin. Hh… Sepertinya dia sangat hafal dengan kebiasaanku. Serasa dia adalah aku dan aku adalah dia. Emang bener-bener sahabat sejati. Pikirku dalam hati.
“Gelang loe bagus!”, kata Sandy tiba-tiba.
“Oh, ini dari Rio. Oleh-oleh dari Jogja”, jawabku seraya memainkan gelang mutiara di tanganku.
“Ow… Oia, loe udah bilang suami loe kalo ketemuan sama gue?”
Aku menggeleng.
“Lho? Kok belum? Ntar dia marah lagi kalo loe nggak pamit sama dia”
“Dia tuh nggak ada bedanya sama loe! Sama-sama cuek! Mana pernah Si Aquarius cemburu sama pasangannya?”, celetukku sinis.
“Nggak semua lagi, Al… Gimanapun sifat cowok pastilah dia ngerasa jealous kalo pasangannya jalan sama cowok lain…”
“Emang loe juga cemburu kalo Chintya jalan sama cowok lain?”, tanyaku.
“Emm… Kadang-kadang…”
“Lho? Kok kadang-kadang sich? Loe cemburu juga nggak?”, tanyaku mendesak.
“Yah… Dulu awal-awal jalan gue sering takut kalo dia bakal berpaling dari gue. Tapi sekarang udah nggak lagi! Mungkin karena bentar lagi kami akan nikah kali ya… Jadi udah nggak kawatir lagi! Udah pasti dimiliki soalnya…”, jelas Sandy yang membuatku lega.
“Yah… Mungkin yang dipikirin Rio juga gitu. Sejak menikah dia nggak pernah tuh ngelarang-ngelarang gue ketemu temen-temen cowok gue. Padahal loe tau gimana gue kalo udah ketemu sama mereka. Suka lepas kontrol aja kalo becanda. Terutama sama loe! Tapi sejauh ini dia OK-OK aja! Eh, kok jadi curhat gini sih? Kita kesini kan mau ngerayain ultah loe. Kok jadi ngomongin rumah tangga gue? Hehehe…”
“Nggak papa… Nyantei aja lagi kayak di pantai!”
“Oh, ini dari Rio. Oleh-oleh dari Jogja”, jawabku seraya memainkan gelang mutiara di tanganku.
“Ow… Oia, loe udah bilang suami loe kalo ketemuan sama gue?”
Aku menggeleng.
“Lho? Kok belum? Ntar dia marah lagi kalo loe nggak pamit sama dia”
“Dia tuh nggak ada bedanya sama loe! Sama-sama cuek! Mana pernah Si Aquarius cemburu sama pasangannya?”, celetukku sinis.
“Nggak semua lagi, Al… Gimanapun sifat cowok pastilah dia ngerasa jealous kalo pasangannya jalan sama cowok lain…”
“Emang loe juga cemburu kalo Chintya jalan sama cowok lain?”, tanyaku.
“Emm… Kadang-kadang…”
“Lho? Kok kadang-kadang sich? Loe cemburu juga nggak?”, tanyaku mendesak.
“Yah… Dulu awal-awal jalan gue sering takut kalo dia bakal berpaling dari gue. Tapi sekarang udah nggak lagi! Mungkin karena bentar lagi kami akan nikah kali ya… Jadi udah nggak kawatir lagi! Udah pasti dimiliki soalnya…”, jelas Sandy yang membuatku lega.
“Yah… Mungkin yang dipikirin Rio juga gitu. Sejak menikah dia nggak pernah tuh ngelarang-ngelarang gue ketemu temen-temen cowok gue. Padahal loe tau gimana gue kalo udah ketemu sama mereka. Suka lepas kontrol aja kalo becanda. Terutama sama loe! Tapi sejauh ini dia OK-OK aja! Eh, kok jadi curhat gini sih? Kita kesini kan mau ngerayain ultah loe. Kok jadi ngomongin rumah tangga gue? Hehehe…”
“Nggak papa… Nyantei aja lagi kayak di pantai!”
Begitulah. Aku selalu ngerasa bahagia tiap kali bertemu dengan Sandy. Begitupun juga dia. Seolah kami adalah dua sejoli. Sejak saat itu kami jadi sering ketemu. Terutama beberapa hari ini. Aku meminta dia untuk membantuku menyiapkan surprise party untuk ulang tahun suamiku.
Hingga suatu hari saat aku pulang dari kantor. Sebuah mobil sedan terparkir dirumah mertuaku. Aku masuk sambil bertanya-tanya siapa gerangan pemiliknya. Saat melintas di ruang tamu aku melihat Rio dan orangtuanya berkumpul di situ. Dan yang membuat aku bertanya-tanya ada Chintya, calon istri Sandy. Sedang apa dia disini? Dan ada perlu apa sehingga seluruh keluarga berkumpul.
Hingga suatu hari saat aku pulang dari kantor. Sebuah mobil sedan terparkir dirumah mertuaku. Aku masuk sambil bertanya-tanya siapa gerangan pemiliknya. Saat melintas di ruang tamu aku melihat Rio dan orangtuanya berkumpul di situ. Dan yang membuat aku bertanya-tanya ada Chintya, calon istri Sandy. Sedang apa dia disini? Dan ada perlu apa sehingga seluruh keluarga berkumpul.
“Wah… Ada apa ini? Tumben banget pada ngumpul?”, tanyaku dengan senyum mengembang.
“Sayang… Bisa kita bicara sebentar?”, tanya suamiku dengan nada yang nggak biasa.
Aku langsung bisa merasakan kalo sedang ada masalah di sini. Aku berjalan mengikuti Rio. Dia masuk ke kamar dan menutup pintunya setelah aku masuk.
“Ada apa?”, tanyaku penasaran.
“Sayang, maaf sebelumnya. Bukannya aku nggak percaya sama kamu. Tapi tolong jawab dengan jujur pertanyaanku. Apa kamu pergi dengan Sandy hari ini?”
Aku terkejut mendengar pertanyaan Rio. Darimana dia tau kalau aku baru saja pergi dengan Sandy.
“Alya… Tolong jawab!”, pinta suamiku sambil menggenggam tanganku erat.
“I, iya! Aku emang tadi pergi sama dia. Cuman aku nggak ngerti dech kenapa kamu…”
“Jadi bener kamu ada hubungan sama Sandy?”
“Hubungan? Hubungan apa maksud kamu?”
“Yah… Hubungan…”
“Kamu pikir aku selingkuh sama Sandy? Sayang, kamu udah nggak percaya lagi sama aku? Kamu ngeraguin kesetiaanku sama kamu?”, kataku yang mulai emosi.
“Bukan.. Bukan itu maksudku. Aku hanya ingin kamu bicara jujur. Apa kamu ada hubungan khusus sama Sandy?”
Aku bener-bener semakin emosi. Aku membuka pintu dan berjalan ke luar menemui Chintya. Aku tau, darinya aku bisa mendapat jawaban atas pertanyaan suamiku.
“Chintya! Tolong kamu bilang sama aku. Apa keperluan kamu disini?”, tanyaku dengan nada sinis.
“Alya! Tenang!”, kata Ibu mertuaku.
“Ayo jawab, Chin! Ada perlu apa kamu kesini?”, tanyaku semakin tinggi.
Tiba-tiba Chintya berlutut dan memeluk kakiku.
“Alya, tolong jauhi Sandy. Jangan dekati dia. Sebentar lagi kami akan menikah. Aku mohon…”, pinta Chintya sambil terisak.
“Chin, apa-apan sich? Ayo bangun! Jangan gini dong.. Lepasin!”, kataku sambil menarik-narik tangannya.
“Aku nggak akan bangun sampai kamu mau berjanji untuk mengembalikan Sandy sama aku”, kata Chintya yang membuatku semakin penasaran ada apa sebenarnya.
“Chintya, bangun! Aku bilang bangun!”, kataku sambil menariknya berdiri.
Dia menangis. Membuatku bingung.
“Chin, tolong ceritain ada apa sebenernya? Kenapa kamu bilang aku harus mengembalikan Sandy sama kamu?”, tanyaku.
Chintya malah menangis sesenggukan. Aku meraih tempat tisu di meja dan menyerahkan padanya. Kubimbing dia untuk duduk. Aku mengikutinya. Kini Chintya mulai sedikit tenang. Aku memintanya untuk menceritakan semuanya. Termasuk maksud kedatangannya ke rumah suamiku.
“Sayang… Bisa kita bicara sebentar?”, tanya suamiku dengan nada yang nggak biasa.
Aku langsung bisa merasakan kalo sedang ada masalah di sini. Aku berjalan mengikuti Rio. Dia masuk ke kamar dan menutup pintunya setelah aku masuk.
“Ada apa?”, tanyaku penasaran.
“Sayang, maaf sebelumnya. Bukannya aku nggak percaya sama kamu. Tapi tolong jawab dengan jujur pertanyaanku. Apa kamu pergi dengan Sandy hari ini?”
Aku terkejut mendengar pertanyaan Rio. Darimana dia tau kalau aku baru saja pergi dengan Sandy.
“Alya… Tolong jawab!”, pinta suamiku sambil menggenggam tanganku erat.
“I, iya! Aku emang tadi pergi sama dia. Cuman aku nggak ngerti dech kenapa kamu…”
“Jadi bener kamu ada hubungan sama Sandy?”
“Hubungan? Hubungan apa maksud kamu?”
“Yah… Hubungan…”
“Kamu pikir aku selingkuh sama Sandy? Sayang, kamu udah nggak percaya lagi sama aku? Kamu ngeraguin kesetiaanku sama kamu?”, kataku yang mulai emosi.
“Bukan.. Bukan itu maksudku. Aku hanya ingin kamu bicara jujur. Apa kamu ada hubungan khusus sama Sandy?”
Aku bener-bener semakin emosi. Aku membuka pintu dan berjalan ke luar menemui Chintya. Aku tau, darinya aku bisa mendapat jawaban atas pertanyaan suamiku.
“Chintya! Tolong kamu bilang sama aku. Apa keperluan kamu disini?”, tanyaku dengan nada sinis.
“Alya! Tenang!”, kata Ibu mertuaku.
“Ayo jawab, Chin! Ada perlu apa kamu kesini?”, tanyaku semakin tinggi.
Tiba-tiba Chintya berlutut dan memeluk kakiku.
“Alya, tolong jauhi Sandy. Jangan dekati dia. Sebentar lagi kami akan menikah. Aku mohon…”, pinta Chintya sambil terisak.
“Chin, apa-apan sich? Ayo bangun! Jangan gini dong.. Lepasin!”, kataku sambil menarik-narik tangannya.
“Aku nggak akan bangun sampai kamu mau berjanji untuk mengembalikan Sandy sama aku”, kata Chintya yang membuatku semakin penasaran ada apa sebenarnya.
“Chintya, bangun! Aku bilang bangun!”, kataku sambil menariknya berdiri.
Dia menangis. Membuatku bingung.
“Chin, tolong ceritain ada apa sebenernya? Kenapa kamu bilang aku harus mengembalikan Sandy sama kamu?”, tanyaku.
Chintya malah menangis sesenggukan. Aku meraih tempat tisu di meja dan menyerahkan padanya. Kubimbing dia untuk duduk. Aku mengikutinya. Kini Chintya mulai sedikit tenang. Aku memintanya untuk menceritakan semuanya. Termasuk maksud kedatangannya ke rumah suamiku.
“OK! Sekarang kamu ceritain ada apa sebenernya?”, tanyaku perlahan.
“Sandy… Dia membatalkan pernikahan kami”
“Apa? Membatalkan pernikahan kalian? Kenapa?”
“Aku juga nggak tau, Al! Padahal saat ini aku sedang mengandung anaknya”
“Anak? Jadi, kamu hamil? Dan itu anak Sandy?”, tanyaku tak percaya.
Chintya mengangguk. “Awalnya aku pikir dia bercanda. Tapi ternyata dia serius. Dia udah nggak pernah lagi menghubungi aku. Itu sebabnya aku nyusul dia kesini. Aku ingin tau apa alasan dia ninggalin aku. Ternyata itu karna kamu, Al. Dia bahkan nggak ngakuin kalo anak yang aku kandung ini adalah anaknya. Dia berubah sejak ketemu kamu”, jelas Chintya ditengah isaknya.
“Sandy… Dia membatalkan pernikahan kami”
“Apa? Membatalkan pernikahan kalian? Kenapa?”
“Aku juga nggak tau, Al! Padahal saat ini aku sedang mengandung anaknya”
“Anak? Jadi, kamu hamil? Dan itu anak Sandy?”, tanyaku tak percaya.
Chintya mengangguk. “Awalnya aku pikir dia bercanda. Tapi ternyata dia serius. Dia udah nggak pernah lagi menghubungi aku. Itu sebabnya aku nyusul dia kesini. Aku ingin tau apa alasan dia ninggalin aku. Ternyata itu karna kamu, Al. Dia bahkan nggak ngakuin kalo anak yang aku kandung ini adalah anaknya. Dia berubah sejak ketemu kamu”, jelas Chintya ditengah isaknya.
Aku merasa bersalah mendengar cerita Chintya. Aku berdiri mendekati suamiku yang dari tadi mendengarkan percakapan kami. Di depan mertuaku juga aku tampak dibuat bingung oleh masalah ini. Sungguh aku nggak nyangka kalo kejadiannya bakal kayak gini. Tapi aku nggak mungkin menceritakan kedekatanku dengan Sandy akhir-akhir ini. Aku nggak mau surprise party yang sengaja aku siapkan untuk suamiku hancur berantakan. Akan sia-sia apa yang udah aku dan Sandy lakukan.
“OK! Aku sekarang tau apa masalahnya. Tapi aku nggak bisa ngejelasinnya sekarang. Em… Sayang, kalo kamu percaya sama aku, besok malem kamu dateng ke Brown Cafe. Jam 7 malem. Aku janji kamu bakal tau yang sebenernya terjadi. Aku mohon kamu bisa kasih aku waktu sampai besok”, kataku memohon.
Rio tersenyum hangat. Dia mengusap rambutku penuh cinta. “Tentu sayang… Aku percaya sama kamu. Aku akan dateng besok…”, ucapnya lembut membuatku tenang.
Aku menoleh pada Chintya. “Besok jam 7 malem aku tunggu kamu disana. Mudah-mudahan apa yang kamu lihat nanti adalah jawaban yang kamu inginkan”, kataku sambil mengusap lengan Chintya. Dia memelukku dan mengucapkan terima kasih padaku.
Rio tersenyum hangat. Dia mengusap rambutku penuh cinta. “Tentu sayang… Aku percaya sama kamu. Aku akan dateng besok…”, ucapnya lembut membuatku tenang.
Aku menoleh pada Chintya. “Besok jam 7 malem aku tunggu kamu disana. Mudah-mudahan apa yang kamu lihat nanti adalah jawaban yang kamu inginkan”, kataku sambil mengusap lengan Chintya. Dia memelukku dan mengucapkan terima kasih padaku.
Malam ini aku sama sekali nggak bisa tidur. Banyak sekali pertanyaan-pertanyaan yang menggelayut dalam pikiranku. Chintya hamil. Sandy membatalkan pernikahannya. Dia menolak mengakui anak yang dikandung Chintya. Oh Tuhan… Ada apa sebenernya? Kenapa aku merasa terjebak dalam masalah asmara sahabatku? Hh… Mudah-mudahan besok kami bisa mendapatkan jawaban atas masalah ini.
Pagi ini aku berangkat ke kantor lebih awal. Aku ingin menyelesaikan pekerjaanku secepat mungkin. Karena hari ini adalah hari ulang tahun suamiku. Hari dimana aku telah menyiapkan surprise party untuknya. Dengan bantuan Sandy tentunya. Mungkin hari ini juga hari yang sangat ditunggu-tunggu oleh suamiku. Oleh Chintya juga. Karena hari ini dia akan tau apa sebenernya hubunganku dengan Sandy. Tak lebih dari seorang sahabat.
“Pagi banget ke kantornya? Ada meeting?”, tanya Rio yang masih berbalut selimut.
“Iya sayang! Tapi aku udah siapin sarapan buat kamu. Baju buat ke kantor juga udah aku siapin”, aku meraih handbag kesayanganku dan tak lupa memakai gelang mutiara pemberian suamiku beberapa bulan yang lalu. Gelang ini hampir tak pernah lupa aku pakai. Dengan memakainya aku merasa suamiku selalu ada untuk menggenggam tanganku.
“Oia, mungkin nanti aku nggak pulang dulu. Aku harus lembur sebentar. Kita ketemu nanti malam di Brown Cafe. Jangan lupa, kamu pakai baju yang di sakunya ada sulaman nama kita”, kataku mengingatkan.
“Dah sayang!”, aku mengecup keningnya. Dia kembali memejamkan mata.
“Iya sayang! Tapi aku udah siapin sarapan buat kamu. Baju buat ke kantor juga udah aku siapin”, aku meraih handbag kesayanganku dan tak lupa memakai gelang mutiara pemberian suamiku beberapa bulan yang lalu. Gelang ini hampir tak pernah lupa aku pakai. Dengan memakainya aku merasa suamiku selalu ada untuk menggenggam tanganku.
“Oia, mungkin nanti aku nggak pulang dulu. Aku harus lembur sebentar. Kita ketemu nanti malam di Brown Cafe. Jangan lupa, kamu pakai baju yang di sakunya ada sulaman nama kita”, kataku mengingatkan.
“Dah sayang!”, aku mengecup keningnya. Dia kembali memejamkan mata.
Jam masih menunjukkan pukul 2 siang. Rasanya nggak sabar nunggu nanti malam. Aku mencoba menghubungi Sandy. Tapi sama sekali nggak ada jawaban. Aku jadi khawatir. Jangan-jangan dia tau kalo Chintya ada di sini. Ah! Nggak mungkin. Kami sudah sepakat untuk bertemu nanti malam. Mungkin Sandy masih sibuk menyiapkan beberapa hal untuk acara nanti malam.
“Hah… Malam ini bukan cuma Rio yang akan terkejut. Tapi juga Sandy… Dia pasti kaget karena Chintya dateng nyusulin dia”, kataku sambil tertawa lirih.
“Hah… Malam ini bukan cuma Rio yang akan terkejut. Tapi juga Sandy… Dia pasti kaget karena Chintya dateng nyusulin dia”, kataku sambil tertawa lirih.
Pukul 7 malam aku sudah berada di Brown Cafe. Suasana di tempat itu begitu sunyi. Aku sengaja memesan tempat ini untuk acara ulang tahun Rio. Selain karena tempatnya yang indah, tempat ini juga menyimpan banyak kenangan semasa kami pacaran. Ini adalah tempat favoritku. Tempat favorit Sandy juga sich!
Sebuah mobil sedan merah berhenti di depan cafe. Aku tau siapa yang berada di balik kemudi. Rio. Dia ke luar dengan mengenakan kemeja biru lengan panjang. Sudah menjadi kebiasaanya melipat bagian lengannya hingga mendekati siku. Di bagian sakunya terdapat sulaman inisial nama kami. RA. Rio Alya. Aku sengaja memesan kemeja itu waktu berlibur ke Lombok sebulan yang lalu.
Aku tersadar dari lamunan setelah kutau ada mobil lain yang terparkir di belakang mobil suamiku. Itu pasti Chintya. Mudah-mudahan dia bisa bersabar hingga pestanya usai.
Rio berjalan masuk menuju cafe. Dia tampak heran karena keadaan disini begitu gelap.
“Alya! Kamu disini?”, dia memanggilku setengah berteriak. Aku keluar dari dalam dengan membawa kue ulang tahun dengan beberapa lilin di atasnya.
“Happy Birthday to you… Happy Birthday to you… Happy Birthday dear My Love. Happy Birthday to you…”, aku mendekatkan kue itu pada Rio. Tampak wajahnya yang begitu terkejut di tengah-tengah cahaya lilin.
“Don’t forget to make a wish honey!”, kataku sebelum dia meniup lilinnya.
Rio memejamkan mata kemudian meniup semua lilin hingga ruangan kembali gelap. Tiba-tiba Sandy menyalakan lampu dan berteriak “Surprise…!!!”
Rio kaget. Ada teman-teman Rio, adik-adiknya, adik-adikku, dan beberapa kerabat dekat. Mereka semua sengaja kuundang untuk ikut pesta ini.
“Alya… Ini…”
“Iya! This is for you!”
Dia memelukku dan mengecup keningku mesra.
“Selamat ulang tahun sayang… Semoga hubungan kita tetep langgeng!”, kataku sambil mencium lembut bibirnya.
“Terima kasih! I’m so surprised! Gimana kamu bikin semua ini?”
“Nah! Inilah yang ingin aku jelasin ke kamu. Mungkin ini juga adalah jawaban dari masalah yang kemarin”
“Maksud kamu?”, tanya Rio.
“Sandy, sini dech!”, panggilku pada sahabat terbaikku.
Sandy bingung. Dia berjalan menghampiriku. Seolah ada seribu tanda tanya besar di kepalanya.
“Sayang, Sandy yang bantu aku nyiapin surprise party ini buat kamu. Bahkan sebenernya dia yang punya ide ini. Itu sebabnya aku jadi sering ketemu dia. Sering jalan bareng dia. Tapi itu semua nggak lebih dari sekedar partner kerja. Maksudku partner buat bikin pesta ini”
“Ow… Jadi gitu ceritanya… Lalu Chintya?”, tanya Rio tiba-tiba.
“Chintya?”, tanya Sandy heran.
“Oia… San, gue juga punya kejutan buat loe! Tunggu ya?”
Aku berlari ke luar dan masuk kembali dengan menggandeng seorang wanita.
“Chintya?”, ucap Sandy lirih.
“Sandy…”, Chintya segera berlari memeluk Sandy seolah telah lama mereka berpisah.
“Alya! Kamu disini?”, dia memanggilku setengah berteriak. Aku keluar dari dalam dengan membawa kue ulang tahun dengan beberapa lilin di atasnya.
“Happy Birthday to you… Happy Birthday to you… Happy Birthday dear My Love. Happy Birthday to you…”, aku mendekatkan kue itu pada Rio. Tampak wajahnya yang begitu terkejut di tengah-tengah cahaya lilin.
“Don’t forget to make a wish honey!”, kataku sebelum dia meniup lilinnya.
Rio memejamkan mata kemudian meniup semua lilin hingga ruangan kembali gelap. Tiba-tiba Sandy menyalakan lampu dan berteriak “Surprise…!!!”
Rio kaget. Ada teman-teman Rio, adik-adiknya, adik-adikku, dan beberapa kerabat dekat. Mereka semua sengaja kuundang untuk ikut pesta ini.
“Alya… Ini…”
“Iya! This is for you!”
Dia memelukku dan mengecup keningku mesra.
“Selamat ulang tahun sayang… Semoga hubungan kita tetep langgeng!”, kataku sambil mencium lembut bibirnya.
“Terima kasih! I’m so surprised! Gimana kamu bikin semua ini?”
“Nah! Inilah yang ingin aku jelasin ke kamu. Mungkin ini juga adalah jawaban dari masalah yang kemarin”
“Maksud kamu?”, tanya Rio.
“Sandy, sini dech!”, panggilku pada sahabat terbaikku.
Sandy bingung. Dia berjalan menghampiriku. Seolah ada seribu tanda tanya besar di kepalanya.
“Sayang, Sandy yang bantu aku nyiapin surprise party ini buat kamu. Bahkan sebenernya dia yang punya ide ini. Itu sebabnya aku jadi sering ketemu dia. Sering jalan bareng dia. Tapi itu semua nggak lebih dari sekedar partner kerja. Maksudku partner buat bikin pesta ini”
“Ow… Jadi gitu ceritanya… Lalu Chintya?”, tanya Rio tiba-tiba.
“Chintya?”, tanya Sandy heran.
“Oia… San, gue juga punya kejutan buat loe! Tunggu ya?”
Aku berlari ke luar dan masuk kembali dengan menggandeng seorang wanita.
“Chintya?”, ucap Sandy lirih.
“Sandy…”, Chintya segera berlari memeluk Sandy seolah telah lama mereka berpisah.
Aku berjalan mendekati suamiku. Aku terharu menyaksikan pertemuan mereka. Kugenggam tangan suamiku. Seolah berharap tak pernah terpisahkan dengannya.
Namun tiba-tiba kami dikejutkan dengan ulah Sandy. Dia mendorong Chintya hingga punggungnya menabrak meja.
“Sandy!”, teriak Chintya.
“Ngapain kamu di sini?”, tanya Sandy dengan nada sangat emosi. Aku baru tau bagaimana sahabatku itu kalo marah.
“Aku kesini untuk kamu, San! Aku ingin kamu kembali…”
“Untuk apa? Untuk menutupi aib kamu yang udah hamil dengan orang lain?”, kata Sandy yang membuatku tak percaya. Sahabatku benar-benar tidak mengakui anaknya.
“Sandy!”, teriakku. “Loe gila ya! Loe nggak ngakuin kalo anak yang dikandung Chintya itu adalah anak loe? Loe bener-bener keterlaluan tau nggak? Loe pengecut!”, kataku kecewa.
“Apa? Loe bilang gue pengecut? Al, loe tau gue. Loe tau gue nggak mungkin nglakuin itu..”, jelas Sandy.
“Kalo bukan loe bapaknya, lalu siapa?”, tanyaku masih dengan nada tinggi.
“Loe pengen tau siapa bapak dari anak yang dikandung Chintya? Loe pengen tau?!”, Sandy menantang. Aku menatapnya tajam.
“Dia. Dia bapak dari anak yang dikandung Chintya. Dia adalah pengecut itu!”, tutur Sandy sambil menunjuk ke arah Rio.
Bagai disambar petir aku mendengarnya. Hingga tanpa sadar aku menampar Sandy dengan keras. Plak!!! Suasana hening sejenak. Di depan banyak orang dia menuduh suamiku yang menghamili Chintya. Sesaat aku berubah membencinya.
“Apa maksud loe dengan nuduh suami gue? Apa?”, aku semakin sengit berteriak di depan muka Sandy.
“Gue nggak nuduh suami loe! Gue bicara yang sebenernya. Rio emang bapaknya!”
“Nggak mungkin! Nggak mungkin suami gue! Nggak mungkin…”, aku menangis dan menatap Rio lekat-lekat. Tampak kegelisahan di wajahnya. Tapi aku benar-benar tak percaya. “Sayang… Itu nggak mungkin kan? Itu semua bohong kan? Iya kan? Sayang! Tolong jawab aku!”, teriakku seraya menggoyang-goyangkan lengan Rio dengan kasar
Aku kecewa. Aku nyaris pingsan namun Chintya tiba-tiba meraihku. Aku menepisnya dan berjalan terhuyung ke arah Sandy.
“San, becanda loe kelewatan banget! Loe udah nuduh suami gue! Apa yang sebenernya loe mau? Loe mau ngrusak rumah tangga gue?”, kataku sinis.
“Gue nggak becanda, Al! Loe inget waktu gue tanya tentang gelang mutiara yang loe pake? Itu bukan punya Rio. Tapi punya gue. Gue kasih gelang itu ke Chintya supaya dia selalu ngerasa kalo gue selalu ada sama dia. Tapi gelang itu hilang. Katanya ada saudaranya yang iseng ngambil gelang itu. Dan anehnya tiba-tiba gelang itu udah ada di tangan loe. Hh… Gue yakin Rio nggak pernah ngasih gelang itu ke loe. Ya kan?”
Aku menoleh ke arah Rio. “Gue temuin ini di saku kemeja Rio sepulang dari Jogja. Dia bilang dia sengaja mau kasih kejutan, tapi udah keduluan gue yang nemuin”
“Loe inget waktu pertama kali loe lihat hp baru gue? Loe bilang hp itu mirip kayak punya suami loe yang hilang. Iya! Itu emang hp suami loe. Gue sengaja nemuin itu di bawah bantal, di kamar kos Chintya. Kalo loe nggak percaya loe bisa cek isinya. Masih ada foto-foto yang mungkin bisa jadi bukti”
Aku mengangguk seraya meraih hp dari tangan Sandy. Aku tersenyum sendiri. “Kamu bilang hp kamu dicopet kan waktu di jogja? Apa yang nyopet itu Sandy?”, tanyaku ketus pada Rio.
“Heh! Jadi ini hasil bisnis kamu di Jogja? Hh… I’m so surprised honey! I’m so surprised!”, kataku mendekat pada Rio. Mataku basah oleh air mata.
“Sayang, aku bisa jelasin ini..”
“Jelasin apa lagi? Semuanya udah jelas buat aku! Aku bener-bener kecewa sama kamu. Kamu jahat! Rasanya aku pengen banget nampar muka kamu! Tapi aku nggak mau ngotorin tangan aku dengan menyentuh laki-laki bejat seperti kamu!”, kataku sambil meninggalkan tempat itu.
“Al, Alya!”, Rio menahanku. Aku membanting tangannya.
“Lepasin aku! Tangan aku haram disentuh oleh laki-laki penghianat!”
Aku berlari meninggalkan semuanya. Seolah tak ingin ada yang mengikuti. Aku berlari begitu kencang. Dengan menangis. Hingga tak kudengar suara yang memanggilku.
Namun tiba-tiba kami dikejutkan dengan ulah Sandy. Dia mendorong Chintya hingga punggungnya menabrak meja.
“Sandy!”, teriak Chintya.
“Ngapain kamu di sini?”, tanya Sandy dengan nada sangat emosi. Aku baru tau bagaimana sahabatku itu kalo marah.
“Aku kesini untuk kamu, San! Aku ingin kamu kembali…”
“Untuk apa? Untuk menutupi aib kamu yang udah hamil dengan orang lain?”, kata Sandy yang membuatku tak percaya. Sahabatku benar-benar tidak mengakui anaknya.
“Sandy!”, teriakku. “Loe gila ya! Loe nggak ngakuin kalo anak yang dikandung Chintya itu adalah anak loe? Loe bener-bener keterlaluan tau nggak? Loe pengecut!”, kataku kecewa.
“Apa? Loe bilang gue pengecut? Al, loe tau gue. Loe tau gue nggak mungkin nglakuin itu..”, jelas Sandy.
“Kalo bukan loe bapaknya, lalu siapa?”, tanyaku masih dengan nada tinggi.
“Loe pengen tau siapa bapak dari anak yang dikandung Chintya? Loe pengen tau?!”, Sandy menantang. Aku menatapnya tajam.
“Dia. Dia bapak dari anak yang dikandung Chintya. Dia adalah pengecut itu!”, tutur Sandy sambil menunjuk ke arah Rio.
Bagai disambar petir aku mendengarnya. Hingga tanpa sadar aku menampar Sandy dengan keras. Plak!!! Suasana hening sejenak. Di depan banyak orang dia menuduh suamiku yang menghamili Chintya. Sesaat aku berubah membencinya.
“Apa maksud loe dengan nuduh suami gue? Apa?”, aku semakin sengit berteriak di depan muka Sandy.
“Gue nggak nuduh suami loe! Gue bicara yang sebenernya. Rio emang bapaknya!”
“Nggak mungkin! Nggak mungkin suami gue! Nggak mungkin…”, aku menangis dan menatap Rio lekat-lekat. Tampak kegelisahan di wajahnya. Tapi aku benar-benar tak percaya. “Sayang… Itu nggak mungkin kan? Itu semua bohong kan? Iya kan? Sayang! Tolong jawab aku!”, teriakku seraya menggoyang-goyangkan lengan Rio dengan kasar
Aku kecewa. Aku nyaris pingsan namun Chintya tiba-tiba meraihku. Aku menepisnya dan berjalan terhuyung ke arah Sandy.
“San, becanda loe kelewatan banget! Loe udah nuduh suami gue! Apa yang sebenernya loe mau? Loe mau ngrusak rumah tangga gue?”, kataku sinis.
“Gue nggak becanda, Al! Loe inget waktu gue tanya tentang gelang mutiara yang loe pake? Itu bukan punya Rio. Tapi punya gue. Gue kasih gelang itu ke Chintya supaya dia selalu ngerasa kalo gue selalu ada sama dia. Tapi gelang itu hilang. Katanya ada saudaranya yang iseng ngambil gelang itu. Dan anehnya tiba-tiba gelang itu udah ada di tangan loe. Hh… Gue yakin Rio nggak pernah ngasih gelang itu ke loe. Ya kan?”
Aku menoleh ke arah Rio. “Gue temuin ini di saku kemeja Rio sepulang dari Jogja. Dia bilang dia sengaja mau kasih kejutan, tapi udah keduluan gue yang nemuin”
“Loe inget waktu pertama kali loe lihat hp baru gue? Loe bilang hp itu mirip kayak punya suami loe yang hilang. Iya! Itu emang hp suami loe. Gue sengaja nemuin itu di bawah bantal, di kamar kos Chintya. Kalo loe nggak percaya loe bisa cek isinya. Masih ada foto-foto yang mungkin bisa jadi bukti”
Aku mengangguk seraya meraih hp dari tangan Sandy. Aku tersenyum sendiri. “Kamu bilang hp kamu dicopet kan waktu di jogja? Apa yang nyopet itu Sandy?”, tanyaku ketus pada Rio.
“Heh! Jadi ini hasil bisnis kamu di Jogja? Hh… I’m so surprised honey! I’m so surprised!”, kataku mendekat pada Rio. Mataku basah oleh air mata.
“Sayang, aku bisa jelasin ini..”
“Jelasin apa lagi? Semuanya udah jelas buat aku! Aku bener-bener kecewa sama kamu. Kamu jahat! Rasanya aku pengen banget nampar muka kamu! Tapi aku nggak mau ngotorin tangan aku dengan menyentuh laki-laki bejat seperti kamu!”, kataku sambil meninggalkan tempat itu.
“Al, Alya!”, Rio menahanku. Aku membanting tangannya.
“Lepasin aku! Tangan aku haram disentuh oleh laki-laki penghianat!”
Aku berlari meninggalkan semuanya. Seolah tak ingin ada yang mengikuti. Aku berlari begitu kencang. Dengan menangis. Hingga tak kudengar suara yang memanggilku.
Malam ini hatiku benar-benar sakit. Aku sedih karena suami yang selama ini sangat aku cintai tega mengkhianatiku. Aku memang belum bisa memberinya anak. Bukan karena aku mandul. Tapi karena Tuhan masih belum mempercayai aku untuk jadi seorang ibu. Aku menangis sejadi-jadinya. Meluapkan semua rasa sakit yang mungkin nggak akan pernah aku duga sebelumnya. Surprise party itu ternyata bukan untuk suamiku. Tapi untukku. Kenapa semua ini bisa terjadi padaku? Kenapa Tuhan?
Sebulan setelah peristiwa menyakitkan itu, aku memutuskan untuk bercerai. Mungkin ini keputusan yang berat karena aku begitu mencintai suamiku. Tapi ini adalah keputusan terbaik. Rio dan Chintya menikah. Tapi, Chintya keguguran di usia ke 4 kandungannya. Dia sempat mengaku padaku kalau sebelumnya Rio dan Chintya pernah pacaran. Jauh sebelum Rio mengenalku. Dan kenapa sampai dia meminta pertanggungjawaban Sandy atas kehamilannya. Ternyata itu semua sudah direncanakan. Bahkan sebelumnya Chintya pernah hampir menjebak Sandy. Agar seolah-olah dia hamil dengan Sandy. Bukan dengan Rio.
Hh! Aku nggak nyangka Chintya yang aku kenal lugu tega berbuat seperti itu. Aku memilih untuk tinggal dan menetap di Surabaya. Menjauh dari masa lalu yang menorehkan luka.
Hh! Aku nggak nyangka Chintya yang aku kenal lugu tega berbuat seperti itu. Aku memilih untuk tinggal dan menetap di Surabaya. Menjauh dari masa lalu yang menorehkan luka.
Sandy, entah di mana dia sekarang. Dia sama sekali nggak ngabarin aku. Hh… Terkadang aku berpikir kenapa gelang mutiara ini bisa sampai di tanganku. Apakah Tuhan telah manakdirkan kami? Ah! Nggak mungkin. Keberadaan siempunya sekarang aja aku nggak tau.
“Lagi nyariin gue?”, sebuah suara mengejutkanku.
Aku menoleh dan betapa terkejutnya aku melihat siapa yang berdiri di dekatku.
“Sandy?”
Akhirnya aku dipertemukan kembali dengannya. Setelah kejadian itu dia dipindah tugas ke Surabaya. Dan dia mengetahui dari sepupuku kalo aku juga di Surabaya. Ternyata selama ini dia juga mencariku.
“Udah dapet gantinya Chintya?”, tanyaku tiba-tiba.
Sandy mengangguk.
“Oia? Siapa?”, tanyaku penasaran.
Dia menoleh dan menatap mataku lekat. “Loe!”
“Hah? Gue? Becanda loe! Gue kan janda. Masa’ loe mau ama janda sich! Yang masih single kan banyak!”.
“Tapi gue maunya nikah sama cewek yang udah pake gelang dari nyokap gue”
Aku terkejut. Aku menatap gelang mutiara di tanganku. “Jadi ini dari almarhum nyokap loe?”
Sandy mengangguk. “Beliau pesen supaya gue makein gelang ini sama cewek yang bakal jadi istri gue. Nah! Gelang itu ada di loe kan? Jadi loe mesti jadi istri gue!”
Aku bener-bener nggak percaya. Sungguh rahasia Tuhan begitu sulit ditebak. Aku tersenyum dan memperhatikan gelang mutiara itu dengan bahagia. Gelang mutiara penyatu hati. Hatiku dan hati Sandy.
Aku menoleh dan betapa terkejutnya aku melihat siapa yang berdiri di dekatku.
“Sandy?”
Akhirnya aku dipertemukan kembali dengannya. Setelah kejadian itu dia dipindah tugas ke Surabaya. Dan dia mengetahui dari sepupuku kalo aku juga di Surabaya. Ternyata selama ini dia juga mencariku.
“Udah dapet gantinya Chintya?”, tanyaku tiba-tiba.
Sandy mengangguk.
“Oia? Siapa?”, tanyaku penasaran.
Dia menoleh dan menatap mataku lekat. “Loe!”
“Hah? Gue? Becanda loe! Gue kan janda. Masa’ loe mau ama janda sich! Yang masih single kan banyak!”.
“Tapi gue maunya nikah sama cewek yang udah pake gelang dari nyokap gue”
Aku terkejut. Aku menatap gelang mutiara di tanganku. “Jadi ini dari almarhum nyokap loe?”
Sandy mengangguk. “Beliau pesen supaya gue makein gelang ini sama cewek yang bakal jadi istri gue. Nah! Gelang itu ada di loe kan? Jadi loe mesti jadi istri gue!”
Aku bener-bener nggak percaya. Sungguh rahasia Tuhan begitu sulit ditebak. Aku tersenyum dan memperhatikan gelang mutiara itu dengan bahagia. Gelang mutiara penyatu hati. Hatiku dan hati Sandy.